Waktu adalah pedang, begitulah kata Imam Ali bin Abi
Thalib. Sebagaimana pedang maka ia akan sangat bermanfaat apabila berada di
tangan yang tepat dan dipergunakan dengan sebaik mungkin. Sebaliknya, ia akan
melukai pemiliknya sendiri apabila sang pemilik tidak punya keahlian
mempergunakannya. Keahlian mempergunakan pedang tentu saja tidak didapat begitu
saja. Butuh belajar dan latihan untuk bisa memainkannya dengan sebaik mungkin. Demikian
juga dengan waktu, maka hanya orang-orang yang telah belajar dan berlatihlah
yang mampu memanfaatkannya.
Orang barat pun tidak mau ketinggalan dalam
mengapresiasikan waktu. Mereka menyebutkan “time is money” waktu adalah
uang. Sebagaimana uang yang sangat penting dalam kehidupan manusia, maka begitu
pula dengan waktu. Uang memang bukan segalanya, tapi bukankah segalanya butuh
uang? Nach, bagaimana dengan waktu? Bisakah kita mengatakan waktu bukan
segalanya? Tentu tidak bukan? Berarti waktu itu lebih berharga dari uang.
Selama ini kita sebagai orang timur beranggapan
bahwa orang barat sangat menghargai waktu. Mereka memiliki manajemen waktu yang
bagus. Kita selalu berkiblat kesana ketika sedang membicarakan masalah
kedisiplinan dan ketepatan waktu. Padahal dari dua pepatah yang saya sebutkan
diatas jelas Islam yang nota benenya disebut dunia timur lebih menghargai waktu
yang menganalogikannya dengan pedang.
Akibat terlalu berpatokan ke barat ketika
membicarakan masalah kedisiplinan, saya pun beranggapan demikian terhadap
lulusan-lulusan dunia barat. Namun, pada kenyataannya anggapan itu berbanding
terbalik dengan kenyataan. Anggapan tentang kehebatan barat tentang pengelolaan
manajemen waktu yang ideal buyar dimata saya. Saya merasakan sendiri, dirugikan
oleh lulusan barat yang tidak pernah disiplin. Waktu saya terbuang percuma. Saya
memang bukan lulusan barat, s1 dan s2 saya hanya di Aceh saja, tapi waktu bagi
saya adalah pedang.
Lalu, apabila “kebaikan” dari dunia barat itu juga
tidak mampu diadopsi oleh alumni barat, maka apa yang mereka bawa pulang dari
sana? Ataukah hanya sekedar gaya-gayaan bahwa mereka adalah orang-orang hebat
yang mampu mendapatkan beasiswa untuk kuliah kesana. Atau mereka akan membawa
pulang budaya lainnya dari sana, seperti kasus Rosnida sari (si dosen yang
fenomenal)?
Melihat realita ini, maka saya sepakat dengan
opininya Teuku Zulkhairi yang dimuat di harian Serambi Indonesia tanggal 13 januari 2015
yang mempersoalkan mahasiswa yang belajar Islam ke dunia barat. Apa yang hendak
mereka dapatkan dari dunia barat, apabila “budaya baik” mereka saja tidak bisa
diadopsi dan diterapkan dalam keseharian para alamnus-alumnus tersebut?
Selanjutnya, kembali ke persoalan waktu. Berbuat kebaikan
memang tidak mudah, apalagi kalau itu terkait masalah kedisiplinan. Padahal sebagai
muslim, seharusnya kita bisa lebih disiplin dari orang-orang barat itu. Betapa banyak
ajaran Islam yang mengedepankan kedisiplinan. Contoh yang paling dekat adalah
perintah Shalat. Shalat yang terbaik adalah shalat di awal waktu “afdhalus
Shalah ‘ala waqtiha”. Jelas sekali, Islam sangat mengedepankan
kedisiplinan. Bahkan salah satu dari nilai universal dakwah dalam Islam adalah
nilai kedisiplinan. Lalu, masihkah kita terus berkiblat ke barat untuk urusan
yang satu ini?
Sekali lagi, kedisiplinan bukan hanya milik barat,
tapi milik kita. Milik kita yang mengaku muslim. Mulailah dari diri sendiri,
karena kita tidak mungkin mengubah dunia apabila kita sendiri tidak pernah
memulainya.
Post a Comment