Saat ini, berita tentang mahasiswa UIN Ar-Raniry
yang belajar gender ke gereja sedang hangat-hangatnya, padahal lagi musim hujan,
koq bisa hangat ya? Atau mungkin selalu dipanaskan sehingga gak akan dingin dan
gak akan basi. Untuk apa dipanaskan selalu? Itu jawabannya ada pada yang
memanaskan bukan pada saya. Kalau anda ingin tahu tanyakan saja pada mereka
yang memanaskan. Biasanya tugas memanaskan ini adalah tugasnya para chef di
restorant-restorant.
Berita ini menjadi trending topic tidak hanya di
dunia abstrak yang tak pernah ganti nama. Saya merasa heran kenapa dunia yang
satu ini tidak pernah ganti nama, selalu saja memakai nama maya, apakah dia
tidak bosan? Namun, berita itu juga heboh dalam dunia tanpa nama, dunia nyata
maksud saya. Dimana diberitakan seorang dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi
UIN Ar-Raniry yang membawa mahasiswanya untuk mempelajari hubungan/relasi
antara laki-laki dan perempuan dalam agama lain selain Islam. Dan ini menuai
kotroversial di kalangan masyarakat.
Suatu keniscayaan memang, setiap sesuatu itu pasti
ada pro dan kontranya. Persoalan lebih banyak negatif atau positif itu
tergantung dari sudut mana orang melihatnya. Kalau orang yang melihat pakai
microskop tentu yang terlihat olehnya akan berbeda dengan orang yang melihat
menggunakan teropong bintang ataupun yang melihat dengan mata telanjang. Ihh,,
porno ya, koq telanjang sich? Hadeuh..,, jangan negative thinking dulu, maksud
saya mata telanjang itu adalah seseorang yang suka lirik perempuan lain
meskipun sudah beristri. Eh, bukan ya, kalo itu mata keranjang. Aduh, bagaimana
lagi itu? Apakah mata yang dimasukkan ke keranjang, atau keranjang yang
digunakan dimata? Temukan jawabannya di klinik-klinik mata terdekat di kota
anda. Bururan.., sebelum kehabisan.
Dalam pasal 28 UUD 1945 dinyatakan bahwa “Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” Jadi, setiap kita bebas
mengeluarkan pendapat, termasuk bebas berkomentar terkait berita yang saya
sebutkan diatas tadi. Masalah apakah itu komentarnya bersifat negatif ataupun
positif, itu tergantung pada pemahaman masing-masing kita. Silahkan berpendapat,
selama itu belum dilarang.
Disini, sebenarnya saya tidak ingin mengomentari
berita itu. Tulisan saya ini juga bukan untuk mengklarifikasi berita itu
(karena itu bukan kapasitas saya). Kita tunggu saja klarifikasi dari dosen yang
bersangkutan dari pada kita sibuk mengomentari macam-macam (itu menurut saya,
terserah menurut anda). Saya tidak akan memaksa anda untuk sependapat dengan
saya, Karena, Kita tidak boleh memaksa orang lain untuk sependapat dengan kita.
Karena kalau kita paksa kita akan dianggap penjajah yang pernah menerapkan
praktek kerja rodi dan romusha. Maukah kita dianggap penjajah? Saya yakin jawaban anda juga akan
berbeda-beda tegantung melihatnya dari sudut pandang mana, iya kan? Dan lagian,
hal itu juga bertentangan dengan undang-undang yang saya sebutkan tadi.
Sebenarnya menurut saya, belajar itu bisa dan
boleh dimana saja, selama itu memperhatikan kearifan lokal. Maksud saya
kearifan lokal disini adalah, bagaimana kita melakukan sesuatu yang tidak
bertentangan atau minimal tidak berseberangan dengan norma-norma yang berlaku
di masyarakat. (tapi, kalau memang anda ingin cepat terkenal, maka silahkan
lakukan saja).
Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Pepatah
ini saya pelajari saat saya masih di bangku sekolah dasar. Dan kearifan lokal
yang saya maksudkan diatas, sepertinya sejalan dengan pepatah ini. Saya yakin,
anda semua juga paham dengan pepatah ini kan? Atau minimal, kalaupun tidak
paham, anda pasti pernah mendengarnya, kecuali kalau anda baru 1 jam yang lalu
pulang dari kutub utara. Hehehe...
Nach, dengan memperhatikan hal ini lah, sesuai
dengan budaya masyarakat Aceh yang suka minum kopi (ngopi-red) saya membawa
para mahasiswa saya untuk belajar di warung kopi. Suasana sersan (serius
tapi santai) langsung tercipta ketika para mahasiswa berkumpul di warung kopi
atau Coffee bahasa kerennya sekarang.
Kenapa warung kopi??? Lha, koq nanya lagi sich,
kan sudah saya jelaskan diatas. Okelah, saya perjelas lagi alasannya. Yang pertama,
karena mengingat budaya masyarakat Aceh yang sangat hobby ngopi tadi, dan
sesuai dengan pepatah yang saya sebutkan diatas, maka warung kopi adalah
pilihan yang tepat. Yang kedua, seperti pada kasus sang dosen yang
membawa mahasiswanya ke gereja karena pengalaman pribadinya, maka saya pun
memilih warung kopi adalah karena pengalaman pribadi saya juga. Kebetulan
(meskipun sebenarnya saya tidak percaya kebetulan, karena menurut saya tidak
ada yang kebetulan di dunia ini, segala sesuatu tentu ada campur tangan Tuhan)
saya sangat suka duduk atau dengan bahasa gaul sekarang disebut nongkrong
di warung kopi. Yang ketiga, saya ingin menciptakan sedikit kenyamanan
pada mahasiswa setelah hampir 6 bulan berkutat dengan tugas-tugas kuliah yang
seakan tiada habisnya. (ini juga pengalaman pribadi). Atau mungkin adakah
perkuliahan yang tanpa tugas? Mohon share infonya kalau ada.
Selanjutnya, saya ingin menjadi semacam “juru
damai”. Hehehe..,, maksud saya yaitu, saya ingin sedikit mengubah streotip negatif
warung kopi. Jadi, selama ini sering terdengar bahwasanya menghabiskan waktu di
warung kopi adalah sia-sia. Nach, kalau kita bisa memanfaatkan warung kopi
untuk belajar kenapa tidak, iya kan? Jadi, nongkrong di warung kopi tidak hanya
untuk nge-game semata, ataupun perbuatan sia-sia lainnya. Dan, yang terakhir, Kalau
boleh meminjam bahasa yang sedang “populer” saat ini, saya mencoba menjembatani
antara pemilik warung kopi dengan para mahasiswa, agar tercipta harmonisasi
yang indah.
Menjembatani bagaimana maksudnya? Yah..,, maksud
saya, dengan saya membawa mahasiswa saya belajar di warung kopi, maka sedikit
banyaknya bisa meningkatkan income pemilik warung kopi, Dan untuk saya..,, bisa
minum gratis karena dibayarin mahasiswa.., nach loe..,, azas manfaat nech...,,
(kali ini saya bercanda). Hehehe...
Sampai tulisan ini hampir selesai saya tuliskan,
percayalah tidak ada sedikitpun niat saya untuk mendongkrak popularitas saya,
karena apa? Saya yakin tanpa tulisan ini saya memang sudah cukup terkenal.
Bahkan bisa di katakan saya bak selebriti yang sedang naik daun dan kemudian
daunnya lecek karena saya naikin. Hmm,, harus selebar apa ya daunnya supaya
bisa saya naikin? Silahkan pikirkan sendiri.
Hmm.., atau begini saja, anggap saja ini berita
tandingan. Kenapa saya bilang tandingan, karena sejak jokowi terpilih jadi
presiden Indonesia, sejak koalisi merah putih mendominasi tampuk pimpinan DPR,
terdengarlah pembentukan DPR tandingan, sehingga ada wacana (yang tentunya
iseng-iseng) akan ada presiden tandingan. Segala sesuatu harus ada
tandingannya. Betapa kerennya negara kita ini, saya suka. Maka, jika merasa
kurang senang dengan sesuatu hal tak perlu menyimpannya dalam hati yang akan
membuat sakit hati dan ujung-ujungnya bunuh diri. Saya yakin anda akan sepakat
dengan saya, bahwa bunuh diri itu adalah menghabisi nyawa sendiri. Ada yang
tidak sependapat? Kalau ada, silahkan buat definisi tandingan. Gampangkan? Dari
pada ngedumel dalam hati, yang ujung-ujungnya mati bunuh diri. Hihihi...
Sadar atau tidak, kita akui atau tidak, inilah
negeri kita. Negeri yang (katanya) adalah tanah syurga. Jadi teringat sebuah
lagunya koes plus yang judulnya kolam susu, wah..,, kalau ada kolam susu,
berarti kita bisa mandi susu tiap hari daann...,,, akan kah kita semua seperti
artis korea? Ini secuil lirik dari lagu itu.
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkah kayu dan batu jadi tanaman
Lagi, lagi dan lagi...,, kalau anda tidak
sependapat dengan lagu diatas, silahkan buat lagu tandingan. Jangan lupa, ini
negeri dimana sakit hati tak harus berujung mati, karena segala sesuatu bisa
dibuat tandingannya, sesuai keinginan kita. Indah bukan? Eits, ntar dulu, ini
bukannya si indah yang jadi TKW gara-gara suaminya cari istri tandingan ya...
kasian banget nasib si indah ini, harus melarikan diri ke luar negeri karena
terlanjur sakit hati karena sang suami membangun rumah tangga tandingan bersama
perempuan lain. Sakit hatinya ini sungguh luar biasa, bahkan lirik lagu
“sakitnya tuch disini” miliknya cita citata tidak mampu membuat indah tetap
bertahan di negeri (yang katanya) tanah syurga ini.
Saya berpikir, sepertinya kasus indah ini
seharusnya menjadi perhatian para pegiat HAM dan Gender yang (katanya juga) membela
hak perempuan. Pesan saya untuk si ibu dosen yang sedang populer itu, sebaiknya
ibu fokus saja pada kasus indah ini atau kasus indah-indah lainnya, daripada
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kearifan lokal. Maaf, ini hanya
saran, kalau diterima syukur, kalau tidak juga tak apa. Saya tak akan memaksa
koq... wasallam.
4 comments
G enak d baca
jujur saja saya dan beberapa kawan saya beberapa kali pergi ke gereja dan tempat ibadah lainnya karena tugas arsitektur Unsyiah. tentu bukan kami saja tapi mahasiswa lain yang berkepentingan dan tentu anda tahu bagaimana tugas-tugas diarsitektur.
mungkin pemberitaan tersebut dianggap orang luar terlalu berlebihan tapi bagi kami orang aceh yang menganggap Islam bukan hanya sekedar sebuah agama, tapi identitas, tradisi, leluhur dan darah daging kami itu adalah hal yang mengkhawatirkan.
seharusnya sang dosen tau bagaimana cara dia bersikap, karena saya juga seorang dosen. dan seharusnya dia tahu hal-hal itu membuat masyarakat aceh resah terlebih dia mengajak mahasiswa2i yang masih labil yang karena hal-hal sepele pun mereka mudah goyah.
seharusnya beliau yang sarjana dari Australia lebih bijaksana dalam …