Laksamana Malahayati dikenal sebagai Laksamana
wanita pertama di dunia yang mampu membuat ratu Inggris ketakutan bukan lagi
hal baru. Siapa pun yang peduli dengan sejarah pasti tahu itu. Begitu pun dengan
Cut Nyak Dhien yang perang gerilyanya membuat Belanda kalang kabut.
Sulthanah Perempuan pertama Kesulthanan Aceh
Darussalam Sri Safiatuddin namanya harum hingga kini. Perempuan yang menguasai
7 bahasa dunia ini mampu membawa Aceh mencapai puncak peradaban ilmu
pengetahuan di Asia Tenggara.
Cut Meutia dan sejumlah srikandi-srikandi Aceh
lainnya terkenal dengan keberanian luar biasa. Mereka mengangkat senjata
sejajar dengan Pria. Tiada yang ditakuti karena harapan tertinggi adalah Syahid
di jalan Allah.
Nama-nama diatas adalah mereka-mereka pendahulu
yang telah pergi meninggalkan kita. Namun, perjuangannya masih membekas dalam
sejarah panjang negeri ini. Pada zaman modern saat ini pun masih banyak
perempuan-perempaun Aceh yang memiliki semangat juang yang tinggi meskipun tak
lagi mengangkat senjata, karena medan perangnya sudah berbeda.
Berikut 3 wanita Aceh yang paling berpengaruh di
dunia yang telah penulis rangkum:
1.
Asma Nadia
Pecinta karya non fiksi Indonesia tentu tidak asing dengan
nama wanita yang satu ini. Perempuan berdarah Aceh ini telah menelurkan puluhan
karya yang fenomenal dan bahkan sekarang sudah merambah ke layar lebar. Putri kedua
dari Pasangan Amin Usman yang berasal dari Aceh dan Maria Eri Susanti yang
merupakan mualaf keturunan Tionghoa dari Medan ini lahir di Jakarta pada 26
Maret 1972.
Pemilik nama Lengkap Asmarani Rosalba ini telah mendapat
berbagai penghargaan baik dalam dan luar negeri. Selain menulis, Asma sering
diminta untuk memberi materi dalam berbagai lokakarya yang berkaitan dengan kepenulisan,
baik di dalam dan di luar negeri. Pada tahun 2009 ia mendapat undangan writers
in residence dari Le Chateau de Lavigny dan diundang untuk memberikan
seminar serta wawancara kepenulisan di PTRI Jenewa, Masjid Al Falah Berlin
(bekerja sama dengan FLP dan KBRI di sana), KBRI Roma, Manchester (dalam acara KIBAR
Gathering), dan Newcastle.
Selain itu, Ia pernah menjadi satu dari 35 penulis dari 31
negara yang diundang untuk menjadi penulis tamu dalam Iowa International
Writing Program.
2.
Eka SriMulyani
Professor Eka Sri Mulyani, namanya mulai menggaung seantero Aceh
setelah menjadi Professor perempuan termuda dari Universitas Islam Negeri
Ar-Raniry Banda Aceh. Perempuan yang menjadi Guru Besar di Usia 37 tahun ini
merupakan salah satu finalis Australia Alumni Award Indonesia 2012 untuk
kategori Penelitian dan Inovasi.
Sejumlah karya-karyanya telah dibukukan dan sebahagian lainnya
dimuat di beberapa jurnal internasional yang telah mengantarkannya ke trah
tertinggi bagi akademisi.
3.
Shadia Marhaban
Bagi mereka yang terlibat maupun pemerhati konflik Aceh tentu
sudah tidak asing dengan nama Shadia Marhaban. Wikipedia menyebutkan bahwa
Shadia Marhaban adalah mediator, pembangun kapasitas
internasional dan aktivis dari Aceh, Indonesia.
Bekerja sebagai wartawan dan penerjemah pada masa konflik di
Aceh, ia terkenal pernah berkolaborasi dengan William Nessen pada film
dokumenter the black jalan di Aceh. Selain itu, Shadia juga menjabat
sebagai koordinator SIRA (Sentral Informasi Referendum Aceh).
Pada tahun 2003 ia mencari suaka sebagai pengungsi politik di
Amerika Serikat. Dari sana Shadia terus berperan Aktif untuk perjuangan Nanggroe.
Pada tahun 2005 Shadia Marhaban merupakan satu-satunya perempuan yang berpartisipasi
aktif dalam tim perunding GAM (Gerakan Aceh Merdeka) pada perundingan
perdamaian di Finlandia, yang mengakhiri konflik di Aceh. Setelah negosiasi
yang sukses dari kesepakatan damai ia kembali ke Aceh dan membangun Liga Inong
Aceh (LINA).
Pada tahun 2009, Shadia menyampaikan pidato utama pada
konferensi di Finlandia, yang diselenggarakan oleh Crisis Management
International, dengan tema, “Bagaimana meningkatkan peran perempuan dalam
perundingan perdamaian". Pada tahun 2010, Shadia menjadi pembicara pada
konferensi yang diadakan di Bogota, Kolombia, yang didedikasikan untuk
"Merancang Proses Perdamaian Inovatif," yang diselenggarakan oleh Pusat
Penelitian Berghof Konflik. Selain itu, ia juga menjadi anggota dewan pendiri Sekolah
Perdamaian dan Demokrasi di Aceh.
Pada tahun 2011 ia menjadi anggota dari Weatherhead Center
for International Affairs di Harvard University. Selanjutnya, sejak 2012
dia bekerja sebagai Konsultan Nasional Perempuan Indonesia untuk PBB Papua
Barat. Shadia juga terlibat dalam proses perdamaian bagi banyak pemerintah dan
LSM di Asia Tenggara, di antaranya Thailand Selatan, Mindanao (Filipina),
Timor-Leste, Myanmar, Nepal dan Afghanistan.
Selain itu semua, ia juga satu-satunya perempuan Aceh yang
pernah berpidato di hadapan Dewan Keamanan PBB.
Post a Comment