Aku mengenalmu ketika pertama kali kau menjejakkan
kakimu di kotaku. Kota yang telah dengan sukacita menerimamu menjadi salah
seorang penduduknya karena kamu telah mampu mengalahkan ribuan pesaing lainnya
untuk menjadi salah seorang kuli pemerintah di kota ini. kota kecil, jauh dari
hiruk pikuk ibukota. Kota tercinta yang selalu ku banggakan.
Awalnya kamu tersenyum menyapa, lalu sedetik
kemudian memperlihatkan namamu yang tercetak di surat kabar ternama di daerah
kita sembari bertanya padaku, “siapa namamu?” sambil membuka lembaran koran
tersebut mencari namaku.
Perkenalan yang unik. Kita hanya saling
memperlihatkan nama masing-masing di surat kabar. Dua jam perjalanan di atas
ferry menuju kotaku tak terasa lama karena kuisi dengan mendengarkan leluconmu
tentang nama pemberian orang tua mu yang terkadang membuatmu selalu dianggap
perempuan ketika guru memanggil namamu berdasarkan absensi di ruang kelas.
Hari itu, kita akhiri pertemuan pertama itu dengan
tukaran nomor handphone (hape), karena belum ada facebook apalagi bbm. Kota kecilku
adalah pengalaman baru bagimu. Kau seorang diri disini, maka keesokan harinya
kuputuskan menghubungimu untuk mengajakmu bersama mengurus segala sesuatu
terkait pekerjaan baru kita di kota ini.
Maka, dengan menggunakan motorku kita telusuri
tempat-tempat penting bagi kita dan sejumlah calon PNS yang lain berdua. Dengan
bermodalkan orang tuaku yang sudah cukup dikenal di kota ini maka semua urusan
kita seakan begitu mudah. Kita tak perlu mengantri ketika yang lainnya
berdesakan berjam-jam. Alhamdulillah semua selesai hanya dalam satu hari saja. Hujan
gerimis seakan mendukung kedekatan kita kala itu. Seharian bersamamu membuat
aku sedikit mengerti betapa santun tingkah lakumu.
Waktu berjalan, tak terasa persahabatan kita sudah
berjalan setahun. Banyak cerita yang kita ukir bersama. Kamu juga sudah tak
asing lagi di keluargaku. Tutur kata dan tingkah lakumu menjadikan dirimu
sempurna di mata kedua orang tuaku.
Makan siang kita sering diisi dengan nge-bakso
berdua, Masih ingat? lucu ya, meski tempat kerja kita berjauhan tapi kamu tak
pernah melewatkan hari tanpa mengajakku makan
siang bersama meski terkadang aku tak dapat memenuhi ajakanmu.
Kamu begitu sabar menghadapiku. Sikap kekanak-kanakanku
yang memang saat itu masih berusia 19 tahun mampu kau imbangi dengan
kebijaksanaanmu yang begitu elegan. Bahkan, aku pernah memintamu mengantarkan
jagung bakar untukku dengan berjalan kaki. Tentu kamu mungkin tak pernah
melupakan ini. hehehe..,, maafkan aku ya...
Kamu terlihat begitu dewasa ketika menenteng
sandalku di pantai, karena aku sibuk mandi laut dengan teman-temanku. Menungguiku
sambil tersenyum, tanpa sekalipun kudengar kamu mengeluh. Dan, satu hal yang
tak pernah terlupa ketika malam itu kita keluar untuk dinner bersama dan aku
masih tak pernah menanggalkan jeans kesayanganku. Katamu saat itu, aku lebih
cantik jika pakai rok saja. hihihi...
Meski pada akhirnya aku memutuskan untuk menolak
cintamu, tetapi bukan berarti aku telah melupakan semua cerita indah bersamamu.
Aku mengagumimu, aku menghormatimu dan aku juga menyayangimu tetapi hanya
sebagai kakakku. Maafkanlah... sungguh, saat itu kedua orang tuaku, menyesalkan
keputusan yang ku ambil, karena menurut mereka kau istimewa.
Jika pada akhirnya aku menikah hanya beberapa
bulan setelah kau menyatakan cinta, itu bukan semata untuk menghindarimu tetapi
itulah takdir dari-Nya Sang Pemilik hati dan Penentu Jodoh. Mana bisa kau
berkelit, jika Tuhan sudah memutuskan.
Aku sangat memahami dan mengerti hatimu ketika kau
putuskan untuk tidak hadir pada hari pernikahanku. Kita dapat menjadi sahabat
hingga kini saja sudah menjadi anugerah yang luar biasa buatku. Sekali lagi, ku
pinta; Maafkanlah aku. Semoga kini kamu juga bahagia setelah menemukan
seseorang yang mencintaimu seutuhnya.
Oh ya, bagaimana kabar kedua orang tuamu? Kue buatan
ibumu apakah masih seenak dulu? Sampaikan salam takzimku untuk mereka dan juga
untuk dia yang kini menjadi pendampingmu. Semoga ukhuwah diantara kita tetap
terjaga...
Post a Comment