|
foto dari rakazia.blogspot.com |
Sebut saja nama saya siska (bukan nama sebenarnya).
Disini saya ingin sedikit berbagi pengalaman hidup saya bersama kedua suami
saya. Mungkin ini bisa dibilang eksklusif karena tidak biasa terjadi dan tidak
lumrah, tetapi saya dan suami-suami saya telah menjalaninya selama
bertahun-tahun hingga saat ini.
Pertemuan pertama saya dengan suami pertama itu
terjadi ketika saya masih sekolah. Kemudian setelahnya kami memutuskan untuk
menikah. Rumah tangga kami baik-baik saja karena suami sangat mencintai saya. Setelah
pernikahan kami berjalan bertahun-tahun sampai kami memiliki dua anak, Suami
saya terserang penyakit hernia dan harus menjalani operasi.
Pada pertengahan tahun 2010, tepatnya setahun
setelah suami operasi hernia, suami menyarankan saya untuk mencari pasangan
lagi. Keputusan ini diambil suami karena merasa sudah tidak mampu lagi
memberikan nafkah batin (hubungan intim) kepada saya sejak pasca operasi. Suami
dengan ikhlas meminta saya untuk mempertimbangkan anjurannya, karena dia merasa
sangat bersalah setelah selama ini tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan biologis
tersebut.
Awalnya saya merasa heran dengan anjuran suami,
saya merasa suami seperti tidak mencintai saya lagi sehingga dia menyarankan
untuk mencari pasangan lain. Tetapi, suami meyakinkan saya bahwa justru karena
dia sangat mencintai saya maka dia menganjurkan itu. Untuk memenuhi kebutuhan
yang sudah tidak mampu diberikan lagi olehnya.
Selanjutnya, pada akhir tahun 2010 itu juga saya
bertemu dengan teman SMP saya pada acara reuni sekolah. Dari hasil obrolan
singkat itu, kami merasa sudah “klik”, namun saya tetap bertahan dengan suami
saya. Saat itu saya sadar bahwa saya sudah punya pasangan.
Semakin lama, suami terus mendesak saya untuk
menikah lagi. Akhirnya, saya akui pada suami bahwa saya sudah memiliki
seseorang yang cocok dan itu adalah teman SMP saya dahulu. Suami meminta saya
untuk mengundangnya makan malam (dinner), maka bertemulah suami dan calon suami
saya saat itu.
Tahun pertama pernikahan dengan suami kedua banyak
menuai pro dan kontra, bahkan lebih banyak kontranya daripada yang pro terutama
dari keluarga dekat. Namun, seiring berjalannya waktu dan dengan penjelasan apa
yang sebenarnya terjadi dengan rumah tangga saya, mereka sedikit melunak.
Sebagai istri yang memiliki suami lebih dari satu
tentu saja saya harus pintar-pintar membagi waktu. Tiga tahun pertama
pernikahan kedua saya, dari tahun 2010 sampai 2013 suami pertama dan suami
kedua masih tinggal di rumah yang berbeda. Oleh karena itu saya harus membagi
waktu saya. Dari hari senin sampai kamis saya tinggal dengan suami kedua, dan
di weekend dari jum’at sampai minggu saya ada di suami pertama dan anak-anak.
Pada waktu-waktu selanjutnya suami kedua sering
main atau berkunjung ke rumah saya dan suami pertama. Lalu kemudian setelah
bermusyawarah bertiga, kami memutuskan untuk tinggal satu atap. Saya dan kedua
suami saya beserta anak-anak tinggal bersama. Anak-anak pun sudah mulai dapat
memahami kondisi ini, apalagi setelah mereka punya adik lagi, anak saya dari
suami kedua.
Tinggal serumah membuat saya tidak harus ribet
lagi dalam mengatur waktu. Kini pernikahan atau kehidupan berkeluarga saya
dengan kedua suami dan anak-anak saya berjalan baik-baik saja dan bahagia. Kami,
terutama saya memang telah tahu bahwa secara agama yang kami anut poliandri
dilarang dan haram hukumnya. Tetapi, kami akan tetap berkomitmen untuk terus
menjaga keluarga kami bertiga, tak peduli agam maupun aturan negara
melarangnya.
(sumber cerita: acara curahan hati perempuan TransTv)
2 comments