Saat ini pendidikan menjadi salah satu kebutuhan
pokok manusia selain sandang, pangan, papan dan kesehatan. Pendidikan menjadi
tolok ukur strata sosial di masyarakat. Disadari atau tidak, pendidikan telah
menjadi suatu hal yang sangat penting dan urgent dalam kehidupan manusia. Menanggapi
hal ini Pemerintah Indonesia bahkan memprogramkan wajib belajar 12 tahun bagi
setiap anak Indonesia demi untuk tercapainya tujuan pendidikan nasional.
Kondisi ekonomi masyarakat terkadang menjadi
penghambat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dalam hal
ini, Beasiswa menjadi solusi bagi mahalnya biaya pendidikan. Berbagai macam
lembaga baik swasta maupun pemerintah seolah berlomba-lomba memberikan beasiswa
pendidikan dengan menetapkan sejumlah persyaratan dan kriteria tertentu.
Mahasiswa pun seakan berkompetisi untuk itu. Beasiswa diberikan dengan tujuan
yang berbeda-beda tentunya, dari beasiswa kurang mampu sampai beasiswa
prestasi, baik dalam maupun luar negeri.
Dalam hal ini, mengingat kondisi ekonomi
masyarakat Aceh yang masih terpuruk dikarenakan konflik dan Tsunami, maka pemerintah
Aceh pun turut ambil bagian untuk membiayai pendidikan putra putri Aceh dengan
membentuk Lembaga Peningkatan Sumber Daya Manusia (LPSDM) Aceh berdasarkan Peraturan
Gubernur Nomor: 14 Tahun 2011, Tanggal 13 Mei 2011 Tentang Lembaga Peningkatan
Sumber Daya Manusia. LPSDM Aceh mempunyai tugas membantu Gubernur dalam
merumuskan kebijakan pemberian beasiswa, kerjasama pendidikan, penelitian, dan
pelatihan untuk meningkatkan sumber daya manusia Aceh.
Lembaga ini dibentuk untuk menyalurkan biaya
pendidikan kepada putra putri Aceh yang akan ataupun yang sedang menempuh
pendidikan. Tentu ini bukanlah pekerjaan yang mudah bagi LPSDM.
Benturan-benturan dengan para mahasiswa pun terjadi terkait segala macam
kebijakan yang diambil LPSDM. Dan, yang terakhir ini adalah permasalahan dengan
para mahasiswa program doktoral mengenai mekanisme penyaluran beasiswa untuk
korban konflik. Memang ini bukanlah permasalahan pertama dalam sejarah LPSDM,
sebelumnya juga pernah terjadi benturan-benturan seperti itu.
Dalam penyaluran bantuan biaya pendidikan untuk
mahasiswa yang merupakan korban konflik ini, LPSDM kembali dituding tidak adil
terhadap para mahasiswa program doktoral. Dana yang disinyalir sekitar Rp. 5
Milyar hanya dibagi-bagi untuk mahasiswa program sarjana dan magister. Tentu
ini membuat sejumlah mahasiswa doktoral merasa diperlakukan tidak adil.
Sebagaimana dalam surat pembaca yang dituliskan oleh wakil ketua Senat
Pascasarjana UIN Ar-Raniry yang dimuat serambi kemarin menyatakan bahwa jika
seandainya memang tidak ada plot dana untuk mahasiswa program doktoral
seharusnya LPSDM memberitahukan diawal program pemberian bantuan biaya
pendidikan tersebut sehingga tidak mengecewakan.
Menanggapi persoalan tersebut LPSDM menyalahkan
pihak kampus yang dituding terlambat mengirimkan verifikasi nama-nama mahasiswa
program doktoral. Sementara pihak kampus mengatakan bahwa pihaknya mengirimkan
data mahasiswa S1, S2 dan S3 bersamaan tanpa ditunda-tunda dan tanpa
dipisah-pisahkan. Ketidaksesuaian jawaban antara pihak perguruan tinggi dan
LPSDM menimbulkan pertanyaan besar apa yang sebenarnya terjadi?
Indikasi adanya permainan dalam penyaluran dana
bantuan pendidikan untuk korban konflik ini dikarenakan tidak satupun mahasiswa
program doktor yang mendapatkannya baik dalam maupun luar negeri. Apakah semua
perguruan tinggi baik dalam dan luar negeri terlambat mengirimkan verifikasi
data mahasiswa S3? Bagaimana mungkin seluruh perguruan tinggi sepakat atau
bersamaan dalam keterlambatan mengirimkan data mahasiswa program doktor ini?
Jelas, hal ini sulit diterima logika.
Sebelumnya kebijakan LPSDM terkait persyaratan
nilai toefl bagi calon penerima beasiswa juga mendapat kritikan tajam
dari berbagai pihak. Persyaratan nilai toefl dinilai tidak relevan bagi
calon penerima beasiswa yang hanya melanjutkan pendidikannya di perguruan
tinggi di Aceh atau di dalam negeri. Dan kini LPSDM kembali menuai kritikan
akibat penyaluran beasiswa korban konflik tersebut.
Kritikan lainnya yang juga ditujukan kepada LPSDM
terkait berita yang sempat menghebohkan dunia pendidikan Aceh adalah dengan
memberikan bantuan biaya pendidikan atau mengirimkan sejumlah putra putri Aceh
untuk belajar Islam ke negara barat sehingga kasus yang menghebohkan
(Rosnida-red) itu terjadi di Aceh. Sang pelaku mengakui bahwa ia mendapatkan
beasiswa dari LPSDM untuk melanjutkan studinya ke Australia. Pengakuan tersebut
membuat LPSDM kembali disalahkan oleh sejumlah pihak.
Membandingkan LPSDM dengan sejumlah
lembaga-lembaga asing yang juga menyalurkan bantuan biaya pendidikan semacam
beasiswa fullbright juga bukan sesuatu yang bijak, mengingat kondisi
yang dihadapi jauh berbeda. Namun, terkait penyaluran beasiswa ini, dikti juga
merupakan lembaga yang menyediakan sejumlah beasiswa bagi anak Indonesia, akan
tetapi pengelolaannya sampai saat ini belum pernah menuai kritikan tajam
seperti LPSDM Aceh. Alangkah lebih bijak apabila LPSDM mau bercermin dari
lembaga-lembaga penyedia beasiswa yang tidak pernah menuai kritikan.
Gubernur Aceh Zaini Abdullah bahkan pernah
memberhentikan sementara penyaluran bantuan biaya pendidikan untuk anak Aceh
dikarenakan LPSDM tidak mampu mempertanggung jawabkan beasiswa yang sudah
disalurkan. Akibat ketidakmampuan mempertanggung jawabkan bantuan pendidikan
yang sudah disalurkan tersebut, akhirnya dilakukan pergantian kepemimpinan pada
lembaga peningkatan sumber daya manusia ini.
Permasalah-permasalahan yang terjadi itu kembali
menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat Aceh, ada apa sebenarnya dengan LPSDM?
Mengapa setiap kebijakan-kebijakannya selalu menuai kontroversial? Selalu saja
ada putra putri Aceh yang merasakan diperlakukan tidak adil dan yang merasa
dirugikan oleh LPSDM serta selalu setiap mekanisme penyaluran beasiswanya
menjadi sorotan publik.
Lembaga Peningkatan Sumber Daya Manusia Aceh ini
seharusnya menjadikan setiap permasalahan yang terjadi sebagai bahan evaluasi
untuk melakukan pembenahan-pembenahan baik mekanisme penyaluran bantuan biaya
pendidikan maupun dalam hal mengambil kebijakan untuk menetapkan
kriteria-kriteria para penerima bantuan biaya pendidikan dengan memperhatikan
kondisi masyarakat Aceh tentunya.
Dalam hal ini, khususnya di Aceh, LPSDM menjadi
tumpuan harapan segenap putra putri Aceh yang ingin melanjutkan pendidikan.
Sebagai tumpuan harapan, LPSDM sudah seharusnya memberikan yang terbaik,
menjadi lembaga filantropi yang benar-benar bisa memuaskan harapan masyarakat
Aceh. Tidak mudah memang memenuhi semua harapan anak Aceh, tapi setidaknya
LPSDM responsif terhadap keinginan dan kebutuhan putra putri Aceh.
Selanjutnya, diharapkan kedepan LPSDM dapat
mengambil kebijakan-kebijakan yang mampu dipertanggung jawabkan tanpa harus
saling menyalahkan, terutama dengan perguruan tinggi dan instansi terkait yang
seharusnya menjadi partner dan bergadengan tangan dalam rangka mencerdaskan
generasi Aceh.
Terkait sejumlah persoalan dalam hal penyaluran
bantuan biaya pendidikan ini sudah seharusnya LPSDM berbenah. Jika pergantian
kepimpinan dalam lembaga tersebut juga masih saja belum mampu melahirkan
kebijakan yang tidak menuai kritikan, maka harus dicarikan solusi lain yang
tidak akan merugikan pihak manapun. Sehingga adegan saling tuding antara LPSDM
dengan pihak perguruan tinggi di Aceh tidak akan pernah terjadi lagi. LPSDM dan
perguruan tinggi di Aceh harus mampu membangun hubungan yang harmonis untuk
sama-sama meningkatkan serta mengembangkan sumber daya manusia di Aceh demi
untuk membangun Aceh lebih baik ke depan sebagai tujuan bersama.
Post a Comment