Dalam seminggu terakhir ini ada beberapa teman yang
BBM dan SMS saya mengeluhkan tentang biaya SPP yang semakin mahal. Inbox dari
teman-teman itu mulai dari yang hanya sekedar curhat sampai ada yang menanyakan
peluang pinjaman. Miris, dan yang lebih ironis nya, saya lagi-lagi harus
menolak permohonan itu, karena saya sendiri juga baru saja bayar SPP kuliah
saya. Maksud hati ingin membantu, namun apa daya dana tak memadai.
Saya yakin, tragedi yang saya ceritakan diatas
tidak hanya dialami oleh teman-teman saya saja, tapi hal yang hampir serupa
juga dialami oleh 75% Mahasiswa, baik yang S1, S2, apalagi yang S3 dengan biaya
pendidikan yang bisa dibilang fantastis. 15% lagi adalah mereka yang mendapatkan
beasiswa sehingga tak perlu pusing tentang hal ini. Sedangkan 10% lagi adalah anak-anak
orang kaya yang tak perlu ambil pusing untuk urusan ini.
Kenaikan minyak yang berimbas pada kenaikan harga
barang lainnya sudah cukup membuat sebahagian besar dari kita pusing tujuh
keliling. Selanjutnya pusing itu berkurang 1 keliling karena harga minyak
turun. Namun, harga barang yang sudah melambung tinggi tak ikut turun, karena
tangga yang dipakai untuk naik dulu sedang dipinjam sama ular yang lagi hobby
bermain ular tangga. Nah, seiring tragedi itu, biaya pendidikan pun ikut-ikutan
naik, sehingga menjadikan para mahasiswa seakan setelah jatuh tertimpa tangga
lagi. (para ular gak pinter mainnya sich makanya tangganya jatuh dan tertimpa
mahasiswa yang sedang lewat).
“ketika saya memutuskan untuk kuliah lagi,
melanjutkan S2 setahun yang lalu, saya sudah menghitung semua biaya untuk
kuliah saya. Biaya SPP 3,5 juta per semester dikalikan 4 semester, itu artinya
saya harus menyiapkan dana sebesar 14 juta rupiah. Lalu, saya menyiapkan
anggaran sebesar Rp.20 juta untuk kuliah ini, karena saya berpikir, 6 juta itu
untuk biaya buku dan lain-lain, atau dengan istilah kerennya uang yang 6 juta
itu untuk biaya tak terduga. Begitulah..., namun, sungguh diluar dugaan saya,
ternyata dana tak terduga itu benar-benar tak diduga-duga.” Demikian, curhat
seorang teman ketika pada suatu kesempatan saya sempat berbincang-bincang
dengannya selepas shalat ashar disudut kampus tercinta.
Saat itu, saya seperti melihat ada kabut menggantung
dimatanya. (karena biaya-biaya pada naik semua, akhirnya hanya kabutlah yang
berkenan untuk turun dan menjamah hampir setiap mata). Sambil duduk selonjoran
di mushalla yang memang sedang sepi saat itu, kami berdua mulai menghitung
biaya yang harus kami sediakan untuk menyelesaikan kuliah ini. Berikut coret-coretan
kami:
biaya SPP Rp. 3.500.000,- x
4 semester = Rp. 14.000.000,-
biaya seminar proposal Rp.
1.200.000,-
biaya sidang pendahuluan
Rp. 1.000.000,-
biaya sidang hasil
penelitian Rp. 1.000.000,-
biaya sidang Munaqasyah Rp.
7.300.000,-
biaya yudisium Rp. 600.000
Selain biaya SPP, maka yang lainnya adalah dana
tak terduga yang baru ada sekarang ini. Jelas saja dana 6 juta rupiah yang
disiapkan untuk dana tak terduga itu jauh panggang dari api. (gimana gak jauh,
panggangnya dibawa lari kucing. Hihihi...) itu belum lagi biaya wisuda yang kami
belum ketahui jumlahnya. Tiba-tiba, saya jadi teringat, teman saya yang sudah
menyiapkan 6 juta saja kelimpungan sangat, lalu bagaimana sama teman-teman yang
lain yang tidak punya persiapan sama sekali?
Sedang asyik-asyiknya kami belajar akuntansi ini,
seorang teman yang lain muncul, tiba-tiba saja seperti jin peliharaannya aladin
yang keluar dari botol. Hehehe, sorry becanda biar gak tegang amat. Si teman,
dengan intonasi suara melebihi penyanyi rock papan atas, mengeluarkan sejumlah
uneg-uneg yang sepertinya sudah lama sekali disimpannya dalam kontak pandora
yang indah.
“sekarang semuanya harus bayar, uang inilah,
itulah, ntah apa-apa. Tapi..,, coba kalian lihat sendiri, apa yang kita
dapatkan sudah sesuai dengan harga yang harus kita keluarkan?” dia mengakhiri
orasinya. Kami terdiam. Sebelum saya sempat menjawab, si teman yang hampir
seperti rocker itu kembali berceloteh, “ pelayanan akademik...,, hadeuh,, itu
gak perlulah aku sebutkan, kalian bisa merasakannya sendiri. Pustaka yang
kadang buka kadang tutup. Belum lagi dosen-dosen yang kadang masuk kadang gak”
tutupnya.
Hmm.., sudahlah,,, saya mencoba meredakan orasi
ilmiahnya sebelum semua orang yang lewat akan mampir ke tempat kami karena
dipikir ada yang jualan obat disini. “toh, kita marah-marah disini juga tak
akan merubah keadaan kan?”. Mereka berdua juga diam saja, setelah beberapa
detik mereka menjawab hampir berbarengan, “iya juga sich”.
\
Obrolan kami berlanjut ke sebuah warung kopi yang
sudang buka cabang hampir di setiap sudut kota. Sambil ngopi, si teman setengah
rocker itu kembali memaparkan sejumlah fakta-fakta yang sudah bukan rahasia
umum lagi diantara kami. “kalian lihatkan bagaimana semester pertama kemarin,
ada seorang dosen kita yang 4 minggu tak kelihatan batang hidungnya, tiba-tiba
datang dengan presentasi 9 makalah dalam 2 jam. Minggu selanjutnya kita ujian. Selang
3 minggu nilai kita sudah tertempel di papan pengumuman, dan hampir sebahagian
besar dari kita nilainya sungguh sangat memprihatinkan. Belum lagi semester dua,
ada seorang dosen yang sampai saat ini nilai kita belum juga keluar,padahal
saat ini kita telah selesai semester tiga. Dan, di semester tiga ini, ada
seorang dosen kita yang.........,, ah sudahlah, kalian sudah tahu, gak perlulah
aku buang-buang suara lagi, urainya”.
Aku heran, si teman kembali melanjutkan. “kenapa
mereka-mereka ini mau menerima jam mengajar kalau memang mereka tidak sempat
mengajar?” ini sudah sangat jelas menzalimi kita, tutupnya.
Karena semua harga naik, tentu saja biaya hidup
pun meningkat. dosen-dosen kita juga manusia biasa yang butuh biaya yang lebih
banyak lagi. Karena itu saya rasa mereka menerima saja semua jam mengajar yang
disodorkan tanpa peduli sempat atau tidak, mampu atau tidak. Kedua teman saya
itu terdiam mendengar analisa saya, yang saya sendiri juga tidak tahu, benarkah
begitu atau tidak.
Saat di kampus tadi (sebelum hinggap di warkop)
saya sempat mendengar, bahwa biaya sidang untuk S3 itu sekitar Rp. 33 juta. itu
hanya biaya sidang, belum yang lain-lainya. Angka nominal yang tidak sedikit
menurut saya. Mengingat hal itu, saya mulai menganalisa, “ketika biaya
pendidikan untuk S3 semahal itu, maka para mahasiswa program doktoral tersebut
tentu harus lebih giat lg mencari sumber dana. Nah, rata-rata dari para
mahasiswa S3 adalah dosen pada program S1. Lalu, besar kemungkinan, perihal
seperti yang kami alami (yang dikeluhkan si teman kami yang rock n roll itu)
juga akan dialami oleh para mahasiswa S1. Para mahasiswa S3 itu akan merima jam
mengajar di program S1 sebanyak-banyaknya tanpa peduli sempat atau tidak, bisa
atau tidak, yang penting mereka bisa bayar biaya kuliah doktoralnya.”
Begitulah, ketika semua harga melambung tinggi, bayaran
mengajar mereka tidak pernah naik, sehingga tidak bisa dipungkiri hal itu
adalah sebuah keniscayaan yang tak terelakkan. Lalu, siapa yang harus
disalahkan?
Post a Comment