Mengutip pernyataan salah seorang mahasiswa dalam
opininya yang dimuat harian Serambi Indonesia sabtu kemarin bahwa menulis
skripsi memanglah tak semudah membalikkan telapak tangan memang sangat betul,
makan saja tidak mudah apalagi menulis skripsi. Dan masih menurut pendapat
saudara Fajarli Iqbal bahwa menulis skripsi adalah bukti dan hasil belajar para
calon sarjana selama beberapa tahun saya kurang sependapat. Skripsi, thesis dan
desertasi tidak bisa dijadikan tolok ukur keberhasilan seorang mahasiwa dalam
menyerap ilmu selama masa perkuliahan.
Dalam kurikulum pendidikan nasional sendiri
dijelaskan bahwa penilaian keberhasilan proses belajar mengajar itu dilihat
dari tiga sisi yaitu afektif, kognitif dan psikomotorik. Apakah hanya dengan
penulisan karya ilmiah sudah mewakili ketiga aspek ini? Saya rasa belum.
Mengingat kemampuan orang berbeda-beda sebenarnya kita juga tidak bisa mengeneralisir
bahwa apabila seorang mahasiswa tidak mampu menulis karya ilmiah berarti dia
gagal meyerap ilmu yang diberikan sang dosen.
Dalam beberapa kurun waktu terakhir pelaksanaan
Ujian Akhir Nasional pun menuai protes dari beberapa kalangan termasuk siswa Sekolah
Menengah Atas terkait tidak adilnya sistem pendidikan yang hanya menentukan
kelulusan dengan tiga mata pelajaran saja, sementara mereka menghabiskan waktu
tiga tahun di sekolah tidak hanya tiga pelajaran itu. Nah, begitu pula yang
terjadi dengan para mahasiswa. Mereka kuliah 4 tahun atau bahkan lebih, tetapi
keberhasilannya hanya ditentukan oleh berhasil tidaknya dia menulis karya
ilmiah. Adilkah?
Menjamurnya praktek dukun skripsi seperti yang
disebutkan si mahasiswa dalam opininya tersebut sebenarnya tidak terlepas dari sistem
pendidikan nasional yang berlaku saat ini. Para ilmuwan telah mengetahui bahwa
kemampuan orang berbeda-beda, serta para ulama juga sangat paham bahwa Allah
menciptakan manusia dengan kelebihan dan kekurangan yang berbeda-beda, lalu,
mengapa semua orang harus dinilai dengan tolok ukur yang sama?
Selain keterbatasan masing-masing orang seperti
yang saya paparkan diatas, permasalahan ekonomi menjadi indikasi utama
berkembangnya praktek dukun skripsi tersebut. Seperti yang diberitakan harian
serambi terkait dosen-dosen yang menerima jasa pembuatan skripsi, kita harus
melihat dari sisi indikasi ekonomi seperti yang saya sebutkan. Praktek ini
biasanya dilakukan oleh dosen-dosen muda yang bukan merupakan dosen tetap PNS
(pegawai negeri sipil) pada perguruan tinggi baik negeri maupun swasta.
Berdasarkan hasil penelusuran saya, Para dosen ini honorariumnya dibayarkan
selama enam bulan sekali, itupun kalau tidak molor dengan jumlah nominal yang
jauh dibawah UMR (upah minimum regional) atau UMP (upah minimum provinsi).
Memang, hal tersebut tidak lantas mengharuskan
kita untuk mentolerir ataupun membenarkan praktek tersebut. Namun, kita harus
lebih bijak melihat situasi dan kondisi serta bijak pula dalam menyikapi sehingga
tidak langsung memvonis mereka salah besar. berita-berita yang muncul akhir-akhir
ini pun seakan-akan menggambarkan bahwa para penerima jasa pembuat karya ilmiah
ini adalah para kriminal tingkat tinggi.
Para penerima jasa pembuatan karya ilmiah ini
memang melanggar etika akademik. Namun, apabila kita mau melihat lebih jauh
lagi, sebenarnya apa yang mereka lakukan tidak sepenuhnya salah mereka. Sistem
pendidikan kita menjadikan hal tersebut rahasia umum yang belum ada payung
hukumnya. Sistem perekonomian kita pun belum mampu memberikan kesejahteraan
yang memadai bagi para doktoral, magister apalagi sarjana-sarjana yang
jumlahnya tidak sedikit.
Setiap tahunnya perguruan tinggi di Indonesia
meluluskan ribuan sarjana. Sementara itu, lapangan pekerjaan yang tersedia
tidak sejumlah alumni-alumni tersebut. Sehingga mau tidak mau mereka harus
mencari alternatif lain, dan salah satu alternatifnya adalah menjadi para
pembuat karya ilmiah yang merupakan bisnis paling menjanjikan dengan resiko
yang sangat minim serta tingginya permintaan pasar.
Saat ini, biaya pendidikan yang kian meningkat
tajam seiring naiknya harga minyak dan kebutuhan pokok lainnya juga merupakan
alasan yang paling logis bagi maraknya praktek pembuatan karya ilmiah yang
illegal secara akademik namun belum illegal secara hukum. Untuk menyelesaikan
pendidikan magister dan doktoral bagi dosen-dosen muda yang saya sebutkan
diatas mereka menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Untuk menjadi seorang
Doktor saja biaya yang harus dikeluarkan mencapai ratusan juta. Dengan upah
mengajar yang sangat rendah, lalu dari mana mereka memperoleh biaya untuk
menyelesaikan kuliahnya apabila tidak dengan praktek tersebut, sementara pihak
perguruan tinggi menuntut mereka untuk mengajar secara maksimal sehingga tidak
mungkin bagi mereka untuk mencoba bisnis dalam bidang yang lain dan juga
keterbatasan modal tentunya.
Rongrongan akan Kebutuhan biaya hidup yang
meningkat, tingginya biaya pendidikan, dibarengi dengan penghasilan yang tak
mencukupi serta tingginya permintaan atas jasa mereka membuat kita harus
melihat kembali sistem yang berlaku di negeri kita ini. Saat ini, setiap orang
yang akan melamar pekerjaan hal pertama yang akan diminta adalah ijazah, bukah
keahlian. Tak peduli dia ahli atau tidak, ketika dia mengantongi ijazah
terutama dengan nilai ijazah yang lumayan maka dia akan dianggap mampu. Jadi,
jelas sekali bahwa hal seperti ini menambah deretan panjang penyebab terjadinya
praktek penerima jasa pembuatan karya ilmiah.
Kemudian ketika kita mulai menyalahkan si penerima
jasa pembuatan karya ilmiah ini, bagaimana dengan para konsumennya? Kenapa kita
tidak mencarikan solusi bagi yang menggunakan jasa ini. Apabila kita
memperbaiki dari segi si konsumennya saya rasa akan lebih mudah menghilangkan
praktek ini. Tindakan yang tegas seperti drop out dari pihak perguruan
tinggi bagi mahasiswanya yang ketahuan menggunakan jasa para pembuat karya
ilmiah mungkin akan membuat para mahasiswa berpikir ulang ketika akan
menggunakan jasa para pembuat karya ilmiah ini. Selama ini pihak perguruan
tinggi belum tegas dalam hal pemberian sanksi akademik ini, sehingga para
mahasiswa semakin berminat menggunakan jasa para pembuat karya ilmiah. Apabila
sanksi yang sangat tegas ini diberlakukan, maka Dengan begitu permintaan
terhadap praktek seperti ini akan sepi sehingga dengan sendirinya hal tersebut
dapat menghilangkan praktek penerima jasa pembuatan karya ilmiah dengan perlahan
namun pasti.
Selanjutnya solusi yang paling efektif adalah
memperbaiki sistem pendidikan kita yang memang lagi-lagi tidak semudah
membalikkan telapak tangan. Namun, meski tak mudah bukan berarti tak mungkin.
Kita bisa memulai dari diri sendiri. Tanamkan ke diri kita sendiri untuk berani
bersikap jujur secara akademik meskipun kita harus tertatih untuk itu. Selain
daripada itu, butuh partisipasi dan perhatian semua pihak agar kasus yang
seperti ini tidak semakin meluas. Saya ingat kata-kata seorang dosen saya bahwa
kita tidak mungkin menerapkan hukum potong tangan bagi pencuri apabila penduduk
negeri masih kelaparan. Begitu pula dengan hal ini, sebelum pemerintah
menyiapkan payung hukum untuk diberlakukan pada kasus penerima jasa pembuatan
karya ilmiah ini ada baiknya pemerintah memperbaiki permasalahan perekonomian
di negeri ini, termasuk untuk meninjau kembali biaya pendidikan yang harus
dibayarkan para mahasiswa baik pada strata tiga, dua dan satu.
Terakhir, sebaiknya harus ada sinkronisasi antara
pihak perguruan tinggi dalam membayar upah tenaga pengajar non-PNS dengan
penetapan UMR sehingga tidak ada pihak yang selalu disalahkan dan dirugikan.
Apabila ini semua bisa terlaksana sebagaimana yang diharapkan bersama tentu
praktek-praktek penerima jasa pembuatan karya ilmiah akan hilang dengan
sendirinya dan akan terciptanya kejujuran akademik.
Post a Comment