Tertangkapnya 16 pasangan muda-mudi yang bercampur
baur di sebuah tempat karaoke pada pukul 23.30 malam di kota Banda Aceh dalam
sebuah razia SatPol-PP dan WH Kota Banda Aceh memberikan dampak yang luar
biasa, terutama dengan dikeluarkannya peraturan Pemberlakuan jam malam bagi
perempuan dalam wilayah kota Banda Aceh oleh Walikota yang merupakan tindak
lanjut dari saran fraksi PKS DPRK Banda Aceh.
Berbagai tanggapan masyarakat pun bermunculan
terkait dikeluarkannya peraturan permberlakuan jam malam ini. Tanggapan mulai
dari yang pro sampai yang kontra terus bermunculan dari berbagai pihak. Bagi
yang pro maka sejumlah argumen dikeluarkan dengan melihat sisi positif dari
aturan ini. Sementara itu, bagi yang kontra menyorot aturan ini melalui sudut
pandang negatifnya.
Sejarah Perempuan dalam Islam
Perempuan merupakan sosok yang selalu menjadi
sorotan dari masa ke masa. Merunut sejarah panjang itu, maka kita akan
menemukan fakta sejarah bagaimana Islam datang melalui Rasulullah saw
mengangkat derajat perempuan Arab suku Quraish khususnya dan seluruh perempuan
pada umumnya untuk tidak lagi menjadi sosok yang selalu disalahkan dan di nomor
dua kan. Islam memberikan porsi yang begitu besar dalam penghargaan terhadap
perempuan. Bahkan dalam sejumlah haditsnya Rasulullah menggambar sosok
perempuan sebagai tiang negara dan penghormatan tiga kali lipat yang harus
diberikan seorang anak untuk ibunya.
Kedatangan Islam merupakan angin segar bagi
perempuan saat itu. Islam menghapus diskriminasi yang terjadi terhadap perempuan.
Ruang gerak perempuan yang semula terbatas menjadi lebih luas. Sejumlah
tokoh-tokoh perempuan pun akhirnya bermunculan dan memiliki peran penting dalam
khazanah peradaban Islam di dunia. Sebut saja, Rabi’ah Al-Adawiyah, seorang
sufi wanita yang cukup terkenal bahkan berani menolak lamaran seorang ulama
besar.
Pada kasus penolakan Rabi’ah Al-Adawiyah terhadap
lamaran seorang ulama besar ini, kita bisa melihat bahwa pada masa itu,
perempuan telah memiliki hak untuk mengatur dirinya sendiri. Berbeda dengan
keadaan sebelum Islam datang, dimana perempuan harus selalu tunduk pada aturan
yang dibuat kaum lelaki.
Tersebutlah kisah seorang perempuan Aceh kelahiran
Lampadang Aceh Besar. Cut Nyak Dhien, namanya tercantum sebagai salah satu pahlawan
nasional Indonesia. Sepeninggal suaminya Teuku Umar, ia melanjutkan perjuangan
sang suami. Hutan demi hutan dirambahnya untuk bergerilya berperang melawan
Belanda yang ingin menguasai tanah tercinta. Perjuangan nya berakhir dalam
sebuah pengasingan di Sumedang Jawa Barat. Keberaniannya mengukir sejarah yang
tak akan pernah dilupakan oleh generasi selanjutnya.
Sri Safiatuddin, sultanah perempuan pertama di
Aceh yang menurut sejumlah literature menguasai tujuh bahasa dunia. Pada
masanya, ia mampu membawa Kesultanan Aceh Darussalam ke puncak kejayaan Ilmu
pengetahuan. Sepeninggalnya sang suami Sultan Iskandar Tsani, Sri Safiatuddin
terus berkiprah membawa Nanggroe Aceh menjadi kerajaan terbesar ke empat di
Dunia, meski awal penobatannya di warnai dengan pro dan kontra tentang
kepemimpinan wanita.
Keumalahayati atau yang lebih dikenal dengan nama
Malahayati menjadi Laksamana laut wanita pertama di Dunia. Kiprahnya diakui
dunia karena sukses menghalau Portugis dan Belanda yang masuk ke Aceh, sesuai
catatan seorang wanita Belanda, Marie Van Zuchtelen, dalam bukunya berjudul “Vrouwlijke
Admiral Malahayati” (Malahayati-Sang Admiral Wanita).
Perlindungan Bukan Pelarangan
Dalam sebuah hadits Diriwayatkan bahwa Nabi
Muhammad Saw bersabda: "Tidak dihalalkan bagi perempuan yang beriman
kepada Allah dan hari akhir untuk bepergian tanpa 'mahram' (keluarga yang haram
menikahinya) sejauh jarak tempuh perjalanan tiga hari tiga malam ke atas".
Kemudian seorang sahabat bertanya: "Bagaimana dengan isteri saya yang
melakukan perjalanan haji (tanpa mahram), saya tidak bisa mengantar karena akan
berangkat berperang?". Nabi Menjawab: "Susullah dan temani isterimu".
(Riwayat Bukhari dan Muslim).
Perjalanan tiga hari tiga malam disesuainya
sekitar 100 km. Sejumlah ulama fikih melarang perempuan melakukan perjalanan
dalam jarak tempuh tersebut tanpa ditemani mahram. Namun, Dr. Yusuf Qardhawi
pernah mengeluarkan fatwa membolehkan perempuan pergi dalam jarak yang jauh
daripada itu dengan menggunakan pesawat terbang tanpa di temani mahram dengan
syarat diantar dan dijemput di Bandara oleh mahramnya.
Larangan melakukan perjalanan tanpa mahram ini
menurut Ibnu Rushd dalam Bidayat Al-Mujtahid tidak berlaku apabila untuk
melakukan perjalanan ibadah haji dikarenakan ibadah haji merupakan ibadah
wajib. Hal ini dapat dilakukan apabila ada jaminan keamanan bagi si perempuan
tersebut.
Apabila kita mencoba melihat kembali hadits ini,
maka kita dapatkan Rasulullah menyuruh sahabat yang bertanya untuk menyusul
istrinya menunaikan ibadah haji bukan melarang si istri untuk berhaji karena
tidak ditemani mahram. Jadi, esensi dari hadits ini adalah menciptakan
perlindungan untuk keamanan bagi perempuan bukan pelarangan. Dalam kondisi ini
mahram bertugas untuk melindungi si perempuan dari bahaya-bahaya yang mungkin
terjadi di sekitarnya.
Sejalan dengan ibadah haji yang merupakan
kewajiban dalam bentuk ibadah, maka mencari nafkah dan mencari ilmu adalah
kewajiban lainnya dalam hal mu’amalah. Dalam Islam, perempuan tidak dilarang
untuk melakukan aktifitas positif termasuk apabila harus keluar rumah selama
terjamin keamanannya. Dalam konteks hari ini, fungsi pengamanan ini tidak hanya
tugas si Mahram, tetapi juga menjadi tugas dan peran seluruh masyarakat dalam
mewujudkan keamanan bersama terutama untuk perempuan.
Pemerintah yang mempunyai kekuasaan termasuk
fungsi pengamanan didalamnya seharus mampu mewujudkan perlindungan dan pemberi
keamanan bagi penduduknya khususnya perempuan. Sungguh sangat tidak fair,
apabila perempuan dilarang melakukan aktifitas diluar rumah pada malam hari
hanya karena sejumlah kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang tertentu dengan
alasan keamanan bagi si perempuan sendiri. Jika demikian halnya, mengapa tidak
dilakukan pelarangan keluar malam bagi laki-laki dengan alasan keamanan dan
perlindungan bagi perempuan, sehingga apabila laki-laki tidak diperbolehkan
keluar malam maka perempuan akan bebas melakukan aktifitasnya.
dalam konteks saat ini, sebenarnya tanggung jawab perlindungan itu tidak lagi hanya dilakukan oleh mahram si perempuan, tapi itu menjadi tugas dan tanggung jawab negara, dalam hal ini pemerintah beserta seluruh elemen masyarakat.
1 comment