Aku bukanlah pujangga tasawuf layaknya Jalaluddin Rumi
Bukan pula sastrawan cinta seperti Khalil Gibran
Aku tak permah mampu menuliskan kalimat terindah
untukmu
Dan juga tak pernah bisa melisankan puisi rindu
Bagiku cinta adalah cinta, walau tanpa ucap dan
kata
Entah bagimu...., karena sampai detik ini isyarat
yang kau kirim tak mampu ku cerna
Sehingga aku tak tahu jawaban apa yang harus
kuberi
Sebegitu perlukah cinta diucapkan?
Sebegitu pentingkah rindu dituliskan?
Jika iya, maka takdir tak pernah berpihak pada
lisan dan kalamku.
Haruskan ku hancurkan saja kertas itu? Merobek dan melemparnya
ke tempat sampah?
Padahal kusadari bahwa pena ku yang kehabisan tinta.
Haruskan aku menutup telinga?
Padahal ku ketahui dengan pasti bahwa lidahku yang diam seribu
bahasa
Bolehkah aku meminta pada angin agar sudi kiranya mengirimkan
pesan ku untuk mu?
Pesan tanpa nada, tanpa lirik dan tanpa melodi.
Mungkinkah kau disana akan mengerti?
Aku tersentak.., saat kusadari pesan yang ku kirim tak pernah
kau baca,
Memang itu bukan salah mu, karena lembaran kosong hanya akan
menghadirkan hampa tak bernyawa dan kemudian hilang ditelan masa.
Sungguh ingin sekali ku mengarang cerita, seperti dongeng
putri salju yang telah tersebar keseluruh dunia.
Aku pun ingin sekali bernyanyi bak seorang biduan dengan buluh
perindunya,
Lagi-lagi itu hanya harapku, keinginan yang tersimpan rapat dalam
jiwa yang tidak pernah seirama dengan gerak raga.
Haruskah kuulangi sekali lagi bahwa aku bukanlah pujangga?
Haruskah ku berteriak, mengutuk diri sendiri yang juga masih saja
tak bergeming kala kau menjauh dan terus beranjak pergi di detik-detik kebersamaan
kita pada waktu yang lalu?
Percayalah aku tidak bisu, tetapi lidahku seakan kelu untuk
memanggil nama mu.
Dan... apakah kau tahu IQ ku tak pernah setinggi Albert Einstein?
apalagi jika dibanding Habibie mantan Presiden kita.
Tetapi..., satu hal yang paling pasti, wajahmu tak pernah
terlupakan dalam memori ingatanku, meski alzhaimer menyerang membabi buta.
Kau tahu cinta....
Dia (alzhaimer) boleh melumpuhkan seluruh syaraf otakku tetapi
kenangan tentangmu terkunci dalam lemari besi relung hati bahkan lebih
tersembunyi dari kuburan Hitler yang masih diperdebatkan hingga kini.
Banda Aceh, 24 Agustus 2015
Post a Comment