Umurku memang tak muda lagi. Seperempat abad telah
kulewati setahun yang lalu. Namun, aku juga keberatan jika dikatakan sudah tua.
Hehehe, bukan karena ingin sok muda, sok imut atau apapun, tapi ya menurut
versi ku, usia ku saat ini belum tua-tua amat lah.
“kapan nikah?” pertanyaan yang selalu berseliweran
di telinga. Kedua kosakata tersebut hampir tak pernah absen kudengar mulai dari
3 tahun lalu. Marah, tidak.., aku tak pernah marah pada siapa pun yang
menanyakan itu, karena menurutku itulah bentuk perhatian mereka dalam
menanggapi kesendirianku hingga saat ini.
Pertanyaan yang sama paling sering menjadi
trending topic apabila aku hadir di acara pernikahan sepupu-sepupu ataupun
teman-teman. Apalagi, jika yang menikah adalah mereka yang lebih muda dariku,
sudah merupakan sebuah kepastian bahwa pertanyaan itu akan berterbangan bebas
di udara, menembus batas ruang dan waktu.
Begitulah, aku tak pernah marah, kesal ataupun
sedih menanggapi itu, karena bagiku menikah itu ada waktunya. Lebih baik
menunggu waktu dan orang yang tepat daripada harus ku habiskan sisa hidupku
bersama orang yang salah yang hanya akan “memenjarakan” hati dan perasaanku.
Siapa sich yang tidak ingin menikah? Aku pun
demikian. Aku bukan Rabi’ah Adawiyah yang tak butuh suami. Tapi, jika sampai
hari ini aku masih sendiri, anggaplah itu bagian dari ikhtiar ku untuk
memantaskan diri. Seperti di film-film atau sinetron manapun, super hero itu
pasti datangnya belakangan. Hehehe...
Memang jodoh itu merupakan takdir ikhtiyari, dan
inilah bagian dari ikhtiyarku. Menunggu, memilah dan memilih siapa yang berhak
ku serahkan seluruh pengabdian dan baktiku. Sok jual mahal? Bukan, karena aku
percaya dengan sabda Nabi kita bahwa sebaik-baiknya wanita adalah yang paling
murah maharnya.
Lalu, jika kalian beranggapan aku adalah seorang
yang pemilih, apakah itu salah? Bagaimana bisa aku menyerahkan seluruh cinta
dan raga ini pada sembarangan orang? Standar tinggi kata mereka, juga tak apa. Kalian
atau siapapun boleh bicara apa saja. Karena bagiku seorang imam itu punya
standar tertentu untuk dipenuhi. Bagaimana bisa ia menakhodai bahtera kami
nantinya apabila ia tidak memiliki kemampuan untuk mengarungi lautan?
coba resapi lagi dalam hati kalian masing-masing. pernikahan bagiku bukan perlombaan lari yang siapa cepat maka dialah pemenangnya. ini juga bukan masalah bertemunya dua hati lalu berucap cinta. tapi, lebih dari itu. pernikahan bagiku adalah ketika kutemukan dia yang berhenti melangkah setelah sampai padaku. Dia yang mampu menemukan keindahan dalam bola mataku, dia dipundaknya kugantungkan seluruh harapku, Dia yang menyediakan bahunya untukku bersandar dan dia yang selalu mengatakan aku cantik meski keriput telah memenuhi wajah yang termakan usia.
Jadi, jika ditanya “kapan menikah?” maka
jawabannya adalah aku pasti akan menikah. Suatu hari nanti, bersama dia yang
menurut Nya pantas menjadi kapten kapalku dan mampu melabuhkannya di dermaga
syurga. Maka dari itu, silahkan kalian
atau siapapun beranggapan apapun tentang aku. Bahkan jika kalian merasa lebih
tahu dariku tentang hidupku juga tak mengapa karena sedikitpun tak akan
merugikanku.
Terimakasih untuk perhatiannya selama ini. kalian
memang keluarga, teman dan sahabat yang luar biasa. Love u all...
1 comment