Romantisme
identik dengan ungkapan cinta yang melankolis. Saat ini, dunia mengenal begitu
banyak kata “cinta” dalam berbagai versi bahasa. Orang-orang Inggris dan mereka
yang menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar komunikasi menyebutnya dengan
“love”. Bangsa Arab yang dikenal keras pun punya kata “mahabbah”. “I Love You”,
“ana Uhibbuki/ka”, “Wo Ai Ni” dan lain sebagainya bukanlah kalimat asing lagi
untuk menunjukkan cinta baik kepada pasangan maupun keluarga.
Perbedaan kebudayaan
dan bahasa setiap bangsa menjadikan kalimat cinta berbeda-beda meskipun artinya
sama. Namun, berbeda lagi dengan kebudayaan Aceh. sejauh ini penulis belum menemukan
kata yang ekuivalen seperti “love” dan “mahabbah” dalam tata bahasa Aceh.
Mengutip pernyataan
Dr.Bukhari Daud pada seminarnya di Oslo University yang mengatakan bahwa dalam
tata bahasa Aceh tidak dikenal adanya kata terimakasih yang maknanya senada
dengan “thanks”. Begitu pula dengan cinta. Tak ada kata khusus untuk “cinta”
dalam bahasa Aceh.
Selain kata
cinta dan terimakasih, orang-orang Aceh juga tidak mengenal kalimat “selamat
pagi, siang dan malam”. Sapaan orang Aceh biasanya langsung dengan ucapan Salam
yaitu “assalamu’alaikum”.
Saat ini memang
sudah tidak sulit lagi menemukan orang-orang Aceh yang menyatakan cinta dan
terimakasih, namun hal tersebut disampaikan dalam bahasa Indonesia atau lainnya
seperti Inggris dan Arab yaitu “Thanks” dan “Syukran” untuk mengucapkan rasa
terimakasih. Sebelumnya, orang-orang Aceh cukup mengucapkan “Alhamdulillah”
setiap kali mendapat hadiah atau pemberian dari seseorang.
Di Aceh dahulu,
seorang suami tidak pernah mengucapkan kata cinta kepada istrinya, karena
memang tidak terdapat kata cinta tersebut dalam tata bahasa Aceh seperti yang
telah kita bahas diatas. Selain itu, antara orang tua dan anak pun tidak
ditemukan budaya mendongeng sebagai pengantar tidur misalnya dan atau cium
kening ketika hendak berangkat atau berpergian. Hal itu seolah tabu bagi
orang-orang Aceh.
Memahami kebudayaan
suatu daerah sangat penting jika kita ingin berkunjung ke daerah tersebut. Jika
pendatang yang datang ke Aceh tidak memahami hal ini maka nantinya akan timbul
kesalahan persepsi terhadap orang-orang Aceh sendiri.
Jika sebuah
romantisme hanya diukur dari kata-kata secara lisan saja, maka bisa dipastikan
orang-orang Aceh bukanlah orang-orang yang romantis. Namun, romantisme yang
sesungguhnya adalah sebuah rasa yang ada di hati, meski tak diungkapkan lewat
kata-kata maupun pelukan mesra, cukup buktikan lewat tindakan nyata.
Post a Comment