Malam ini
tak kutemukan bulan, apalagi bintang yang berada nun jauh disana. Ku menunggu
dibalik jendela kamar, berharap ia mau mengintip walau hanya sebentar saja. Hingga
jam dinding berdentang 12 kali, bulan belum juga datang. Kemanakah ia? Langit tak
mendung, tak ada awan hitam yang menggantung.
Kembali kupandangi langit, masih dengan harapan
yang sama. Melihat sedikit saja cahaya rembulan meski hanya samar. Kabut tebal
enggan pergi. Asap kiriman dari tetangga sebelah yang kaya raya mengaburkan
pandangan hingga tak dapat kutemukan rembulan. Marah? Pada siapa aku harus
marah? Pada Asap? Tak mungkin. Ia tak akan datang tanpa diundang.
Hati terus berbisik, ikhlaskan saja. Jika mereka
mengundang Asap, maka undanglah hujan melalui do’a-do’a panjangmu. Apabila hujan
tak juga kunjung datang, pergilah ke tanah lapang, dirikanlah istisqa bersama
kerabat dan handai taulan. Itu jauh lebih baik daripada kau terus-terusan
mencari siapa yang salah.
Berharap pada pemerintah justru akan membuat
marahmu semakin parah. Itu perbuatan sia-sia. Kini yang bisa kau lakukan
pasrahkan saja dirimu pada Allah, mohon pada-Nya keteguhan iman dan kelipatan
sabar untuk menghadapi cobaan.
Hati diam sejenak, kemudian ia melanjutkan. Tentu kau
tak pernah lupa dengan janji Allah bukan? “La Yukallifuallahu nafsan illa
wus’aha” Allah tidak akan membebani suatu cobaan kepada seseorang diluar
kesanggupannya. Bersabarlah, suatu saat nanti, pasti rembulan akan kembali
tersenyum indah sembari menyapamu dalam diam.
Pergulatan batin ini harus segera ku akhiri. Beranjak
dari sisi jendela mungkin sebuah solusi untuk tak terus membiarkan seluruh rasa
berkecamuk. Baiklah, untuk malam ini biarkan bulan tak kelihatan, tetapi percayalah
bahwa besok matahari akan bersinar terang benderang.
Sulit memang percaya pada keyakinan yang hanya
berupa hiburan penenang hati. Namun, apakah asap akan hilang jika kau
berteriak-teriak marah seorang diri? Tidak. Namun, untuk diam saja seolah tak
peduli pun sama dengan menafikan nurani yang terus menggedor-gedor relung hati.
Begitu banyak korban telah berjatuhan. Sang pemegang
kuasa tak bergeming atau lebih tepatnya tak mau ambil pusing. Kemana awak media
yang dengan tinta dan kameranya bisa menciptakan perang itu? Wah, ternyata
mereka pun bungkam seribu bahasa atau lebih tepatnya tak ada satu bahasapun
yang bisa menggambarkan keprihatinan negeri ini.
Malam semakin larut. Belum kutemukan juga solusi
untuk permasalahan negeri ini. hatiku semakin berkabut. Kusudahi saja jeritan
hati ini, karena semakin lama aku menangis, aku semakin sadar bahwa mungkin tak
akan ada yang mau mendengar apalagi menggubris.
Post a Comment