Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun
2002 tentang Hak Cipta pasal 72 ayat 1 menyebutkan: "Barangsiapa dengan
sengaja dan tanpa hak mengumumkan/memperbanyak suatu ciptaan atau memberikan
izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan
dan atau denda paling sedikit 1 juta, atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan atau denda paling banyak 5 milyar."
Selain itu, pada setiap buku-buku biasanya juga
terdapat pesan penerbit yang berbunyi; "Dilarang keras mengutip,
menjiplak atau memfotocopi baik sebagian atau seluruh isi buku ini serta
memperjualbelikan tanpa mendapat izin tertulis dari penerbit".
Kedua pernyataan diatas baik undang-undang maupun
pesan tertulis dari penerbit seharusnya menjadi pedoman untuk setiap tindakan
yang diambil kepada buku-buku panduan yang digunakan di sekolah-sekolah.
Namun, Sampai saat ini saya masih melihat sekolah
membagikan buku panduan dalam bentuk fotocopi-annya kepada siswa. Hal ini saya
ketahui berdasarkan pengalaman pribadi. Saya melihat pada beberapa sekolah para
murid dibagikan buku panduan dalam bentuk fotocopian.
Ketika perbuatan memperbanyak buku (memfotokopi)
ini saya coba kemukakan ke ranah publik, sejumlah pihak mencoba melegalkan
perbuatan tersebut dengan dalih bahwa buku tersebut sangat langka dan sudah tidak
ada lagi dipasaran. Sehingga jalan satu-satunya agar murid-murid dapat
mempergunakan buku tersebut adalah dengan memperbanyaknya dengan cara fotocopi.
Berdasarkan hal tersebut maka kemudian saya
menelususri sejumlah toko buku untuk mencari buku-buku panduan yang digunakan
sekolah-sekolah baik itu buku-buku panduan berbasis kurikulum KTSP 2006 maupun
Kurikulum 2013 dan hasilnya semua buku-buku itu masih tersedia lengkap dan
dalam jumlah yang banyak di toko-toko buku.
Jadi, mengingat
beberapa kali pergantian kurikulum pendidikan di negeri kita, tentu persoalan langkanya
buku panduan agaknya sesuatu yang kemungkinannya kecil sekali terjadi. selain
itu, jika buku-buku panduan ajar itu diterbitkan oleh penerbit besar seperti
Erlangga dan lain-lain, sepertinya lebih mudah lagi untuk mengupayakannya
karena penerbit-penerbit besar itu sudah ada cabang di daerah-daerah.
Sekilas ini memang sepele dan biasa terjadi.
Tetapi menurut saya, sekolah yang merupakan lembaga pendidikan seharusnya
menjadi contoh untuk tidak melakukan "perbuatan terlarang" menurut Undang-Undang.
Karena hal ini secara sadar atau tidak sekolah telah mendidik generasi bangsa
untuk melakukan plagiasi (melanggar hak cipta). Dari sekolah dasar, anak-anak
telah dibiasakan dengan buku fotocopian maka selanjutnya hal ini akan terbentuk
dalam kepribadiannya ke depan sehingga pada akhirnya mereka terbiasa untuk
menjadi plagiator. Kasus seperti ini tidak hanya terjadi pada sekolah-sekolah
saja tetapi juga kalangan mahasiswa di perguruan tinggi juga tidak terlepas
dari praktek copy-mengcopy buku ataupun mencetak ulang buku secara illegal. Berapa
banyak pihak yang telah dirugikan dari praktek seperti ini?
Perlu adanya langkah konkrit dan tegas dari
pemerintah untuk menanggulangi praktek plagiasi seperti ini. Apabila ini terus
dibiarkan maka praktek plagiasi yang seolah “legal” ini terus akan terjadi yang
pada akhirnya mematikan kreativitas anak bangsa sendiri. Penulis akan malas
menulis dan penerbit pun akan gulung tikar.
Post a Comment