“Jika rindu padaku lihatlah bulan purnama di langit
malam”, katamu sesaat sebelum kita berpisah. Sejak saat itu telah tiga puluh
dua purnama kupandangi, sambil berharap kau pun melihatnya dan menyebut namaku
dalam do’a-do’amu.
Dan malam ini purnama ke-33, masih juga kupandangi
meski sosok mu telah menyapaku sore tadi. Jika pada purnama-purnama sebelumnya
aku bertanya, bagaimana kabarmu disana dan kapan kau akan kembali memenuhi
janji yang telah kita ikrarkan? Maka, pada purnama malam ini, aku ingin
bertanya, bagaimana caranya mengabarkan padamu bahwa aku telah ingkar janji?
“Aku akan menunggumu selamanya”, ucapku dahulu
sebelum burung besi itu membawamu pergi dari hadapanku. Kau tahu, baru sebulan
yang lalu aku mulai berhenti menulis untukmu. tulisan yang tak akan pernah kau
baca karena telah kuhanyutkan bersama hujan kemarin sore. Dan malam ini, aku
kembali menulis untukmu. Menuliskan bahwa ternyata, selamanya itu terlalu lama
bagiku. Menyampaikan bahwa aku adalah pecundang dalam hidupmu.
Tak mudah mempertahankan kesendirianku ketika
kabar tentangmu hanya hayalan pengusir sepi. Sulit untuk berdiri tegak kala
angin meruntuhkan ranting-ranting cinta yang belum berbuah. Bagaimana bisa
terus bertumbuh jika kemudian dahan-dahannya rapuh dan patah satu persatu? Pada
akhirnya akar-akar setia pun tercerabut ketika aku tak sanggup lagi
menyiraminya dengan sumur rindu yang mulai mengering.
Ketika tanah mulai retak dan aku kehilangan
pijakan, seseorang mengulurkan tangannya untuk ku pegang, menuntunku menuju oase.
Tanahnya mulai basah kembali, menyemai bibit-bibit baru yang sejatinya tak
pernah ku hendaki namun sangat ku butuhkan. Dan kini, ketika tunas baru itu
mulai berbunga, aku tak ingin ia layu sebelum berkembang.
Terkadang kita harus tega mematikan tumbuhan lama
demi untuk pohon baru yang mulai bertunas. Aku telah melangkah dan tak mungkin
berbalik arah. Sadarilah bahwa pada akhirnya yang tercinta pun harus kalah
dengan yang selalu ada dan ia telah lebih dulu merangkul pundakku, mengajakku
bersumpah setia di hadapan Sang Pencipta.
Aku berharap kau mengerti. Pahamilah pelan-pelan. Aku
tak akan memintamu untuk menerimanya dengan ikhlas. Aku pun tak akan memaksamu
untuk memaafkanku, karena tak ada pengkhianatan yang benar atas nama apapun. Jika
dengan membenciku menenangkan mu, maka lakukanlah...
Post a Comment