 |
photo from: www.anneahira.com |
Buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya, kecuali
dihanyutkan oleh arus sungai karena memang jatuhnya ke dalam sungai. Begitulah perumpamaan
yang digunakan sebagian besar masyarakat kita untuk mengungkapkan bahwa setiap
anak yang lahir di dunia ini maka bisa dipastikan bahwa sikap dan karakternya
tidak akan berbeda jauh dari orang tuanya.
Buah yang hanyut mungkin bisa kita umpamakan
dengan seorang anak yang lahir kemudian diadopsi oleh orang lain sehingga sikap
dan karakter yang terbentuk dalam diri si anak lebih mengikuti orang tua
angkatnya yang mendidik dan memeliharanya.
John Locke seorang pakar pendidikan pernah
menyatakan pendapatnya tentang keadaan lingkungan yang mempengaruhi karakter
seseorang. Konsep John Locke ini dikenal dengan teori Tabula Rasa. Setiap bayi
yang lahir itu diibaratkan dengan kertas putih yang kosong, maka lingkunganlah
yang akan mewarnainya.
Sebenarnya jauh sebelum John Locke memproklamirkan
teori Tabula Rasa-nya ini, Nabi Besar Muhammad saw sudah lebih dahulu
mengabarkan dalam haditsnya bahwa setiap bayi yang lahir itu fitrah (suci),
kedua orang tuanya lah yang menjadikan dia yahudi, nasrani ataupun majusi.
Peran orang tua dan lingkungan dalam membentuk
karakter dan kepribadian setiap anak memiliki peran yang sangat besar.
sayangnya, para orang tua saat ini sangat sedikit yang memiliki ilmu yang mumpuni
dalam mendidik anak-anaknya. Bahkan yang lebih tragis, pengasuhan seorang anak
hanya dibebankan kepada si ibu. Budaya ini terus diwariskan secara turun
temurun, padahal sejatinya ibu dan ayah sama-sama memiliki peran penting dalam
mendidik untuk membentuk karakter si anak.
Anak membutuhkan figur seorang ayah dalam hidupnya
tidak hanya sebatas sebagai pemberi pemenuhan kebutuhan materi semata. Tetapi lebih
dari itu. Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa seorang anak perempuan yang
dekat dengan ayahnya akan lebih terlambat mendapatkan menstruasi daripada anak
perempuan yang tidak dekat dengan ayahnya. Hal ini, memberikan dampak pada
perkembangan psikologis si anak termasuk juga dalam interaksinya dengan dunia
luar.
Selain itu, seorang anak yang dekat dengan ayahnya
biasanya akan cenderung lebih bertanggung jawab dan mandiri. Psikologinya lebih
terkendali karena mereka merasa memiliki pelindung dalam hidupnya, sehingga
tidak perlu lagi mencari hero dengan menjadikan tokoh-tokoh animasi sebagai
idola yang tak jarang berdampak buruk pada kejiwaan mereka.
Begitupun sebaliknya. Ibu menjadi tempat berkeluh
kesah si anak. Keberadaan seorang ibu yang mampu memberikan keteduhan akan
membuat si anak nyaman bercerita apa saja dengan ibunya sehingga dia tidak
perlu mencari tempat curhat diluar yang juga kadangkala malah menjerumuskan ke
arah yang negatif.
Jadi, ayah dan ibu sama-sama memiliki peran penting
dalam proses pembentukan karakter dan kepribadian seorang anak. Tidak ada yang
lebih dan kurang dalam hal ini. keduanya memiliki porsi yang sama dengan posisi
yang berbeda. Kembali ke hadits Rasulullah tadi, beliau tidak menyebutkan
Ibunya saja yang menjadikan anaknya yahudi, nasrani atau majusi, tetapi
Rasulullah menyebutkan “kedua orang tuanya lah yang menjadikan dia yahudi,
nasrani dan atau majusi.
Oleh karena itu, untuk menjadi orang tua tidak
hanya butuh kesiapan cinta, tetapi juga mental dan ilmu yang cukup. Pembelajaran
untuk ini tidak bisa didapatkan dalam proses pacaran yang dijalani muda mudi
saat ini. Pacaran sejatinya tidak mengajarkan ilmu menjadi suami-istri yang
baik, apalagi untuk mendidik anak-anak.
Jadi, Membangun masa depan tak butuh keahlian dari
berpacaran. "SAYA TERIMA NIKAHNYA" hanya butuh satu helaan nafas. Setelah
itu, mari belajar bersama untuk menjadi ayah dan ibu terbaik yang mampu
mencetak generasi Qur’ani.
Post a Comment