Malam ini saat orang-orang sibuk malam mingguan
atau membahas malam mingguan, aku justru ingat satu nama. Orang pertama yang ku
kenali suaranya. Orang yang pernah tak ingin ku bahas. Orang yang pernah tak
ingin ku sapa. Bahkan, pada tahap paling tragis orang yang pernah kuharapkan
tak ada.
Jangan berpikir aku sedang sendiri sehingga aku
memikirkannya. Tidak, aku tidak sepi dan tak sendiri. Dalam hiruk pikuk sebuah
warung kopi tiba-tiba saja pikiran tentangnya menyelinap. Ku coba tepis,
berharap ini hanya karena rindu sesaat. Tetapi, ternyata pikiran ini bertambah
hebat.
Aku mencintainya dalam diam. Aku merindukannya
dalam senyap. Bahkan mungkin ia tak pernah tahu bahwa ada rindu dan cinta di
hati ini untuknya. Ntah lah..., biarkan saja. mungkin kalian semua tak pernah
merasakan apa yang aku rasa. Ketika rindu dan cinta hanya mampu kurangkai dalam
untaian do’a-do’a.
Terkadang sempat terpikir olehku, seberapa besar
cinta yang ia punya untukku? Pernahkah ia merindukanku? Obrolan kaku diantara
kami tak pernah mampu kucairkan meski aku telah berusaha sekuat yang aku bisa. Seolah
ada sekat pemisah yang sulit sekali aku tembusi.
Dalam setiap do’a-do’a aku berharap agar terselip
namaku dalam untaian do’a-do’a terbaiknya. Meski jarak antara kami terlanjur
tercipta, meski tirai pembatas ini masih saja menghalangi rasa, tetapi aku
percaya satu hal, do’anya untukku tak terhijab apapun dan tak terhalang oleh
siapapun.
Ingin sekali memanggilnya dengan sebutan paling
mulia, tanpa embel-embel apapun. Namun, lidahku kelu. Membeku bak es di
pertengahan musim salju. Semoga Allah memberiku waktu melukis satu saja senyum
kebanggaan di wajahnya. Semoga Tuhan memberiku kesempatan mengukir satu saja
tawa kebahagiaan di bibirnya.
Maafkan aku untuk segalanya. Berharap ada maaf di
relung hatinya untukku, karena sampai detik ini aku masih saja belum bisa
menjadikannya yang tercinta. Ingin sekali kukatakan padanya, “Maafkan aku
yang belum mampu menempatkankanmu pada sudut hati yang seharusnya kau tempati. Aku
telah mencoba dan berusaha, tetapi ku mohon jangan salahkan aku karena tempat
itu telah menjadi milik seseorang yang mencintaiku dengan sangat tulus, setulus
dan selembut hatinya menerima kehadiranku meski tak lahir dari rahimnya. Maafkan
aku..., maafkan aku...”.
Post a Comment