Siapa sangka setelah pesan-pesan singkat kemarin
siang. Aku dan dia terdampar disini. Di pantai pulau kapuk nan romantis. Eits,
tunggu dulu tolong jangan dianggap macam-macam, karena di pantai ini tentu saja
kami tidak berdua. Ada ratusan bahkan mungkin ribuan pengunjung lainnya.
Berdua tak lantas menjadikan aku dan dia tanpa
batas. Mungkin ini jauh jika disebut ta’aruf. Tetapi, entah mengapa seperti ada
sesuatu yang mendorongku untuk datang kemari. Seperti yang pernah ku katakan,
bagiku pantai selalu punya romansa tersendiri. Punya cerita dari kisah suka
yang menggelak tawa hingga duka yang membuat nelangsa setengah jiwa.
Di temani kelapa muda dan dia, aku duduk di sebuah
rangkang di tepi danau. Ya, anggap saja danau tepi pantai dengan hiasan
pepohonan pinus yang sangat menyejukkan. Adakah yang lebih membahagiakan dari
ini? tentu saja ada. Saat paling bahagia adalah saat kita telah di syurga dan
Allah menyambut kita dengan senyum-Nya yang tiada tara.
Aku diam. Memperhatikan sekeliling. Tanpa sengaja
mataku tertuju pada sepasang muda-mudi yang sedang bermesraan dengan berselfie
ria. Di sudut yang lain sepasang suami istri yang sedang berbicara santai tanpa
adegan mesra. Dunia sepertinya sudah terbalik. Mereka yang belum sah dengan
berani dan tanpa malu unjuk kemesraan di tempat umum seperti ini sementara
mereka yang halal justru biasa-biasa saja.
Mendadak aku terpikirkan sosok yang sedang sibuk
dengan gadgednya di sampingku. Hmm,, bagaimana dengan dia? Romantiskah dia? Ntah
lah. Ku coba tepis pemikiran itu. Tetapi, sulit. Pengaruh dari banyak adegan
romantis suami istri di novel-novel yang pernah kubaca berkelebat memenuhi
ruang pikirku dan seperti tergambar jelas dalam imajinasiku.
Sekilas aku melirik dia. Sejak kami duduk disini
dia diam saja. dia hanya bicara ketika menanyakan aku mau minum apa. Haruskah aku
yang memulai bicara? Jika iya, apa yang harus aku bicarakan? Aku kembali
melirik ke arahnya. Dia tetap tak bergeming dan masih saja sibuk dengan
gadgednya.
Aku telah mengenalnya sekitar satu tahun lalu. Banyak cerita
tentangnya ku ketahui. Bahkan aku juga tahu bahwa dia sangat pendiam. Biasanya aku
gampang sekali menghadapi orang-orang pendiam. Sifatku yang ceria dan banyak
bicara sehingga membuatku tak pernah harus berhadapan dengan situasi seperti
ini.
Alunan suara musik dari coffee-coffee mini pinggir
pantai kurasakan semakin mencekam saja. dia belum juga menunjukkan tanda-tanda
akan bicara. Untuk saat ini, biarlah seperti apa adanya, aku pun tak akan
memulai untuk buka suara.
Post a Comment