“Salam. Tolong sebutkan satu alasan syar’i
mengapa aku harus menolakmu?” satu pesan yang masuk melalui direct message
di twitter tadi pagi menjelang siang. Sungguh, aku tak tahu harus menjawab apa.
Benarkah ini jawaban atas harapan yang sempat kulirihkan dalam hati tadi malam?
Atau, ini hanya penegasan untuk sebuah penolakan.
Lama kupandangi handphone di tangan. Mencari satu
kata dalam kamus bahasa Indonesia yang telah tersimpan di otakku sejak lahir
tetapi tak kutemukan satu jawaban yang pantas untuk pertanyaan itu. Maka,
jariku bergerak dan ternyata hanya “???” tiga tanda tanya yang kuketik sebelum
akhirnya aku menekan send.
Beberapa detik kemudian lambang surat terlihat di
layar atas handphone. Aku membukanya, “masihkah perlu pertanyaan ketika tak
ku temukan satu alasan pun untuk mengatakan tidak?”.
Allah..., aku beristighfar dalam hati. Terasa ada
yang berdesir dan begemuruh di dada. Inikah jawaban itu. Ini kah sapaan awal
setelah hilang beberapa hari? Aku terdiam. Mendadak hatiku benar-benar bisu. Tak
tahu harus berkata apa. Sesaat aku melupakan hidung tersumbat karena flu dan
pilek sejak beberapa hari lalu. Inikah pertanda bahwa aku harus lebih serius?
“apa ini pertanda bahwa....” aku tak mampu
meneruskan kalimat itu hingga kalimat itu terkirim. “tak perlu bingung dan
gelagapan begitu. Ok. Kapan aku bisa datang ke rumah? Apa ini masih belum jelas
juga?”
“jelas dan sangat jelas.” Sesaat kemudian
balasan terasa demikian cepat masuk ke handphone ku. “tapi, aku belum jelas
kapan bisa datang ke rumah mu?” aku langsung membalas dengan cepat. “dalam
waktu dekat ini orang tuaku sedang tidak disini. Nanti, akan aku kabari lagi
kapan saat yang tepat untuk datang.” Setelah kalimat itu terkirim ada
perasaan lega yang diam-diam merayapi hati.
Aku masih ditempat tidur. Belum beranjak sama
sekali setelah pesan-pesan singkat itu. Hingga pesan singkatmu yang terakhir, “sesuatu
yang baik harus disegerakan”. Aku tak membalas lagi pesanmu. Aku rasa
cukup. Setidaknya cukup untuk kejutan di awal tahun ini. kemudian aku tersadar,
aku belum istikharah sama sekali. Bagaimana bisa aku melupakan Tuhan untuk
keputusan terbesar ini?
Bayangan kejadian beberapa tahun silam kembali
berkelebat. Hadir tanpa ku minta. Bagaimana aku begitu bahagia ketika lamaran
dari seseorang yang kucinta datang kepada orang tuaku. Tetapi, ternyata Allah
berkendak lain. saat itu aku terlalu bahagia sehingga aku merasa tak perlu
istikharah. Dan untuk kali ini, aku tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. Keputusan
terbaik adalah ketetapan yang ada Allah di dalamnya.
Untuk hari ini, mungkin cukup hanya sampai disitu
saja...
1 comment