Kontes ratu-ratuan dan kontroversinya bukan problema
baru di Indonesia. Pada 1950-an pernah pula direncanakan untuk diselenggarakan
Miss Pekan Raya Jakarta tetapi batal, karena dapat tantangan bukan saja dari
kelompok Islam, tetapi juga organisasi perempuan konservatif nasionalis seperti
Perwari, Wanita Katolik bahkan juga kelompok kiri. Berita-berita tentang Miss
Universe atau Miss sejenis beberapa kali jadi headline surat kabar era itu,
tetapi tidak banyak berpengaruh di
kalangan orang Indonesia. Kecuali mungkin bagi warga Belanda yang masih banyak
di Indonesia pada 1950-an, terutama di Kota Bandung.
Pada saat itu penentang kontes Miss Jakarta terdiri
dari dua arus besar yang mewakili dua “ideologi”. Kelompok Islam yang
mempersoalkan masalah aurat dan bertentangan dengan syariat. Sementara itu,
kelompok lain menggugat soal kepatutan dengan budaya Indonesia dan tentunya
anti budaya kapitalisme. Menarik di era itu kalau kelompok Islam dan komunis
bertengkar soal politik dan bisa saling bunuh untuk itu, tetapi mereka sepakat menentang kontes ratu-ratuan.
Bagaimana dengan pemerintah? 11/12 (kata bahasa
sekarang), Presiden Soekarno yang dasarnya memang anti Barat tentunya termasuk
juga di pihak para penentang. Begitu juga parlemen masa itu dan juga tak satu
pun partai politik yang setuju acara ratu-ratuan tersebut diselenggarakan di
Indonesia. Semangat anti kolonialisme, impreliasme budaya begitu gencar masa
itu sehingga panitia menyerah dan kontes ratu-ratuan itu tidak jadi
diselenggarakan.
Pada akhir
1950-an di Kota Bandung diselenggarakan kontes mengendarai skuter khusus untuk perempuan tanpa tantangan. Pada
perkembangannya kontes ini kemudian menjadi Ratu Vespa pada 1960-an, embrio
kontes kecantikan di Indonesia. Namun waktu itu kontes kecantikan mewakili
perorangan bukan daerah.
Kontes kecantikan Ala Indonesia Versus Lisensi
Asing mulai marak diakhir tahun 1960-an setelah runtuhnya Orde Lama. Bukan saja
ratu-ratuan, tetapi majalah hiburan pun mulai memajang cover perempuan berpakaian seksi Pengaruh budaya popular dari
negara lain, terutama Amerika Serikat dan Prancis masuk dengan deras melalui
film dan media cetak. Tetapi di sisi lain muncul gagasan untuk mengkompromikannya
dengan menjadikan kontes ratu-ratuan tersebut dibalut dengan budaya Indonesia. Idenya
perempuan cantik dengan kecerdasan yang mampu menjual pariwisata Indonesia. Penggagasnya
antara lain Ali Sadikin, mulanya bertajuk Miss Jakarta kemudian berubah menjadi
None Jakarta dan akhirnya awal 1970-an menjadi Abang dan None Jakarta karena menyertakan peserta dari kalangan
pemuda. Misinya sama mempromosikan pariwisata. Kontes serupa kemudian diikuti
daerah-daerah lain, munculah Mojang dan Jajaka dari Bandung, Bujang dan Dara
Riau, Cak dan Ning Surabaya hingga saat ini hampir semua daerah di Indonesia
menyelenggarakan kontes-kontes seperti ini.
Dari segi perempuan beauty terakomodir, brain
dapat (pasti harus punya pengetahuan dan berbahasa asing untuk jadi duta
wisata), behavior pasti harus mereka punya dan terhindar dari tudingan
eksplotasi perempuan karena ada pasangan laki-lakinya. Mereka juga membawakan
gaun malam, tetapi juga pakaian adat, bisa berbahasa asing, tetapi juga mahir
bahasa daerah. Tidak ada resistensi serius terhadap kontes jenis ini hingga
kini. Bisnis pun dapat karena mampu mendatangkan sponsor. Karir? Wah alumni
Abnon, Moka juga bisa dapat tiket ke dunia hiburan, pengusaha, manajer, bahkan
politik (tanpa harus ikut ajang lainnya seperti Puteri Indonesia).
Persoalannya kontes seperti Abang dan None Jakarta
tidak klop dengan keinginan kapitalisme global yang didominasi budaya patriarki
hingga sulit go internasional. Miss Universe dan Miss World kemudian masuk
dengan memberikan lisensi kontes serupa di Indonesia tentunya dengan bungkus Beauty,
Brain, Behavior sebetulnya nyaris serupa dengan kontes ratu-ratuan awal. Di sebuah
situs ada yang memberikan gagasan bahwa
kontes seperti ini baik karena mencerminkan perempuan harus maju pemikirannya, tidak
hanya tahu dapur dan melayani suami. Padahal sejatinya event ini justru
memperkuat budaya patriarki. Apalagi di tingkat internasional ada sesi peserta memakai pakaian renang, entah
jenis swimsuit atau bikini dengan ukuran-ukuran proporsional bersifat fisik. Sulit
dipungkiri bahwa sesi ini adalah hiburan bagi laki-laki. Even seperti
memberikan kosntruksi apa yang disebut cantik dan proporsional dan itu
berkaitan dengan produk.
Hapuskan
Perwakilan Daerah untuk Puteri Indonesia Mau pun Miss Indonesia
Jika kontes kecantikan seperti ini harus tetap ada
karena sudah keniscayaan sebagai kebudayaan popular global, mau dibendung
seperti apa pun dengan adanya teknologi informasi, mau diblur seperti apa pun
di televisi yang katanya menutup aurat perempuan juga akan percuma. Kalau penasaran, orang yang ingin tahu bisa
search di Google. Di dunia maya ada ribuan situs tentang peserta kontes
ratu-ratuan sejagad dengan detail dari negara mana pun. Yang jadi persoalan
ialah ketika konsep Miss Universe atau Miss World diadaptasi di Indonesia
dengan peserta dari daerah layaknya kontes Miss di Amerika Serikat dengan wakil
negara bagian. Amerika Serikat cenderung homogen, \sementara Indonesia itu heterogen.
Daerah-daerah di Indonesia punya karakteristik khas. Aceh misalnya adalah
daerah Serambi Mekah, punya aturan daerah sendiri yang pastinya akan berang
ketika ada peserta mengklaim mewakili daerahnya tetapi tidak menampilkan karakteristik
daerah. Masih ingat kasus salah seorang peserta sebuah kontes terkait masalah
prostitusi? Daerah yang diwakilinya juga merasa tercoreng. Jadi penyelenggara Putri
Indonesia dan atau Miss Indonesia bukan saja memberikan beban bagi lembaganya
sendiri menjaga integritas pesertanya, tetapi juga daerah yang diwakilinya. Sensitifitas
masyarakat Indonesia tidak semerata di Amerika Serikat dalam memandang norma. Boleh saja jika ada
sebahagian orang yang mencibir hipokrit lah, dikait-kaitkan dengan PNS daerah
itu yang suka pornografi, dikait-kaitkan dengan daerah itu ada korupsinya, atau
banyak juga gadis lain dari daerah tersebut yang tidak mengikuti norma budaya
setempat dan alasan lain yang terkesan mencari-cari celah pembenaran. Namun,
sebenarnya itu tidak bisa dijadikan alasan untuk bisa membenarkan seorang
peserta dari suatu daerah mewakili daerah lain yang budayanya bertentangan.
Saya usul kalau begitu pihak penyelenggara kontes Miss Indonesia atau
Puteri Indonesia menghapuskan saja sistem
perwakilan daerah masa mendatang. Peserta adalah individual mirip pemilihan
gadis sampul (cover girl) majalah hiburan. Peserta boleh mencantumkan asal kota
tempat tinggalnya tetapi bukan dalam konteks untuk mewakili daerahnya.
Selain itu penghapuskan sistem perwakilan daerah tidak
memaksa daerah yang berminat mengirim peserta karena keterbatasannya akhirnya
mengirim utusan dengan kualitas asal jadi, yang penting ada. Sebaiknya peserta
suatu daerah yang banyak perempuan yang berminat ikut dan berkualitas tetapi
harus terseleksi karena kuota hanya satu orang bisa terakomodir.
Apabila ingin menunjukkan kebanggaan daerah, bisa
digagas semacam Abang dan None Jakarta untuk tingkat nasional. Jadi perwakilan
laki-laki dan perempuan untuk jadi duta wisata nasional. Abnon DKI Jakarta
diadu pengetahuan, perilaku, penampilan dengan duta wisata Jawa Barat, Aceh
hingga Papua. Mereka bebas menampilkan karakter daerah dan adat istiadat dari
pakaian dan lain sebagainya hingga uji integritas dan intelektualitas mereka
dalam pengetahuan tentang NKRI dan juga bahasa asing. Ajang antar daerah ini bisa
saling memahami, menjadi counter culture bagi budaya popular luar.
sumber: Irvan Sjafari @kompasiana.com (dengan sedikit perubahan)
Post a Comment