Banda Aceh, 27 Februari 2016
Yang Terhormat Bapak Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo
di sudut bumi manapun saat ini berada. Izinkan saya menuliskan surat ini,
meskipun mungkin tak akan pernah bapak baca. Tetapi, itu tidak menjadi masalah
buat saya karena setidaknya melalui tulisan ini saya bisa mengeluarkan isi hati
sekaligus perasaan yang sedikit mengganjal sejak media-media memberitakan bahwa
bapak ingin mencabut Perda Jilbab bagi perempuan di Aceh karena bapak menilai
bahwa Perda ini bertentangan dengan UUD Republik Indonesia dan melanggar Hak
Asasi Manusia (HAM).
Saya seorang perempuan Aceh pak, dan sejak kecil
saya telah melihat ibu-ibu, kakak-kakak dan saudari-saudari kami di Nanggroe
ini berjilbab meskipun saat itu belum ada Perda/Qanunnya. Maka, kemudian ketika
dewasa saya pun berjilbab, bukan karena mengikuti orang-orang terdahulu tetapi
karena ini memang kewajiban kami sebagai muslimah.
Bapak pastinya telah lebih lama hidup daripada
saya, pernahkan bapak melihat kami, perempuan-perempuan Aceh melakukan Demo
misalnya atau apapun yang lainnya untuk menentang penerapan Perda Jilbab di
negeri kami? Tidak bukan? Karena apa? Karena bagi kami jilbab ini bukan hanya
sebatas taat pada Perda atau Qanun tapi Jilbab ini adalah bukti taat kami pada
Pembuat Aturan Tertinggi.
Selain itu, saya juga yakin bapak lebih tahu isi
Perda daripada saya. Adakah didalamnya satu poin saja yang menyatakan bahwa
non-muslim pun wajib berjilbab di Aceh ini pak? Jika memang ada, silahkan bapak
cabut Perda jilbab itu. Lakukan pak, jika kami memaksa non muslim untuk juga
berjilbab.
Saya punya beberapa teman yang non-muslim. Bahkan sebahagian
dari mereka juga berjilbab. Tetapi, coba bapak tanyakan kepada mereka,
terpaksakah mereka? Atau adakah yang memaksa mereka untuk berjilbab? Saya yakin
seyakin yakinnya bahwa nantinya bapak akan tercengang mendengar jawaban mereka.
“Tidak ada yang memaksa kami. Ini Aceh dan kami
orang Aceh. Bunda Maria saja berjilbab, lalu kenapa kami harus terpaksa
berjilbab?”. Itu salah satu jawaban mereka ketika saya tanyakan pak. Selain itu, sebahagian besar perempuan yang non-muslim di Aceh tidak berjilbab, tetapi mereka hidup aman dan damai di Aceh. Lalu, jika sudah seperti ini HAM yang mana yang dilanggar oleh Perda itu?
Oh iya, saya ingat Bali. Pada saat mayoritas
penduduk Bali yang beragama Hindu merayakan Nyepi, maka yang beragama non-Hindu
pun wajib memadamkan lampu di rumah-rumah mereka, apakah itu tidak melanggar
HAM Bapak Tjahyo Kumolo? Lalu, bagaimana dengan Jogya? Bukankah semua warga
negara punya Hak yang sama untuk menjadi pemimpin daerah bahkan Presiden,
tetapi masyarakat Jogya tidak punya kesempatan itu, karena Perda mereka
menyebutkan bahwa jabatan Gubernur hanya boleh diisi oleh keturunan Sultan
Jogja dan Wakil gubernur milik keturunan keraton Surakarta. Apakah itu tidak
melanggar HAM bapak Mendagri?
Selanjutnya, mari kita ke Papua Bapak. Di sana,
siapapun yang ingin mencalonkan diri menjadi Gubernur maka harus ada izin dari
ketua adat mereka. Apakah itu juga tidak melanggar HAM? Saya yakin bapak juga
tahu isi deklarasi HAM Dunia dan lebih tahu lagi lex spesialis untuk Aceh,
Jogya, DKI Jakarta dan Papua.
Jadi, Kapan bapak akan ke Aceh? saya ingin
mendengarkan penjelasan tentang aturan-aturan, perda-perda dan sejumlah qanun
yang menurut bapak melanggar HAM.
Hormat Saya,
Perempuan Aceh yang tak pernah merasa terpaksa
berjilbab
Fadiatur Rahmi
1 comment
Mungkin jilbab mau diganti sama Wignya dia wkwkwk