Beredarnya berita sepasang pengantin yang menikah
hanya dengan mahar segelas air putih menimbulkan berbagai tanggapan. Oleh
karena itu, saya mencoba menelusuri bagaimana seharusnya kriteria ataupun
karakteristik mahar dalam aturan fiqh munakahat yang saya kutip dari berbagai
sumber.
Sebuah hadits Rasulullah saw menceritakan, “Saat
seorang laki-laki ingin minta dinikahi dengan seorg wanita, Rasulullah
bertanya: “Apakah engkau punya sesuatu untuk dijadikan mahar?” “Tidak demi
Allah, wahai Rasulullah,” jawabnya. “Pergilah ke keluargamu, lihatlah mungkin
engkau mendapatkan sesuatu,” pinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Laki-laki itu pun pergi, tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah, saya tidak
mendapatkan sesuatu pun,” ujarnya. Rasulullah bersabda: “Carilah walaupun hanya
berupa cincin besi”. Laki-laki itu pergi lagi kemudian tak berapa lama ia
kembali, “Demi Allah, wahai Rasulullah! Saya tidak mendapatkan walaupun cincin
dari besi, tapi ini sarung saya, setengahnya untuk wanita ini.” “Apa yang dapat
kau perbuat dengan izarmu? Jika engkau memakainya berarti wanita ini tidak
mendapat sarung itu. Dan jika dia memakainya berarti kamu tidak memakai sarung
itu.” Laki-laki itu pun duduk hingga tatkala telah lama duduknya, ia bangkit.
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya berbalik pergi, maka beliau
memerintahkan seseorang untuk memanggil laki-laki tersebut. Ketika ia telah ada
di hadapan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bertanya,“Apa yang
kau hafal dari Al-Qur`an?” “Saya hafal surah ini dan surah itu,” jawabnya.
“Benar-benar engkau menghafalnya di dalam hatimu?” tegas Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa sallam. “Iya,” jawabnya. “Bila demikian, baiklah, sungguh aku telah
menikahkan engkau dengan wanita ini dengan mahar berupa surah-surah Al-Qur`an
yang engkau hafal,” kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR.
Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472).
Berdasarkan hadits ini kemudian sebagian orang
membolehkan mahar hanya berupa “segelas air putih”. Untuk lebih jelaskan mari
kita coba urai bersama hadits ini. meskipun saya bukan pakar hadits, tetapi
membaca redaksinya kita dapat melihat bahwa Rasulullah saw menyusuh si pemuda
yang ingin menikah tersebut untuk mencari sesuatu, bahkan perintah Rasulullah
diulang sampai 2 kali. Kemudian, setelah pencarian kedua pun ia tidak
mendapatkan sesuatupun benda berwujud yang dapat dijadikan mahar maka barulah
Rasulullah saw menikahkannya dengan mahar hafalan ayat-ayat Al-Qur’an.
Jadi disini sangat jelas menggambarkan bahwa mahar
berupa hafalan Al-Qur’an tersebut adalah alternatif terakhir bahkan setelah
tidak adanya sebuah cincin dari besi. Namun, coba kita perhatikan saat ini,
orang-orang seakan berlomba memberikan mahar-mahar yang diluar kelaziman
masyarakat, termasuk yang sedang menghebohkan jagad maya saat ini yaitu mahar
segelas air minum.
Jika saja mahar berupa hafalan dianggap lebih
utama maka mengapa Rasulullah harus menyuruh si pemuda yang ingin menikah
tersebut untuk berulang kali mencari sesuatu, mengapa tidak disaat yang pertama
saja langsung dinikahkan dengan mahar berupa hafalan?
Sekali lagi, Jadi mahar berupa sesuatu yang tidak
berwujud adalah alternatif terakhir atau mahar solutif bagi permasalahan tidak
adanya sesuatu yang berwujud yang bernilai. Namun, benarkah saat ini orang-orang
yang memberikan mahar dalam pernikahannya juga tak sesuatu apapun yang
berwujud?
Selanjutnya, berdasarkan fiqh munakahat, apabila
seorang istri minta diceraikan sebelum sempat “bercampur” dengan suaminya maka
ia harus mengembalikan mahar yang telah diberikan suami. Nah, pada yang
demikian ini kemudian timbul pertanyaan, “bagaimana mengembalikan mahar yang
telah diminum?”
Pendapat beberapa orang menyebutkan boleh
mengembalikan dengan mahar misel, artinya mahar pengganti dengan segelas air
putih yang lain. lalu, bagaimana mana caranya kita dapat memastikan bahwa mahar
misel yang dikembalikan kadar atau ukurannya setara dengan yang telah diminum?
Bagaimana jika masih kurang meski hanya setetes saja?
Selain itu semua, kita juga harus melihat sisi
dari pentingnya mahar bagi si perempuan. Mahar merupakan pemberian wajib
seorang suami untuk istrinya. Pada mahar terletak kehormatan seorang perempuan.
Mahar adalah pengikat, setidaknya suami berpikir ulang ketika hendak
meninggalkan istri atau hendak menceraikannya. Kemudian, jika pun terjadi
perceraian, mahar tersebut dapat menjadi pegangan istri untuk kehidupannya
setelah ditinggalkan suami.
Sunnah Rasulullah tentu saja bukan hanya sebatas
dari perkataannya, tetapi juga apa yang dikerjakan ataupun yang dicontohkan oleh
Rasullullah. Untuk itu, pernahkah kita membaca sejarah Rasulullah menikah
dengan hafalan Al-Qur’an? Padahal beliau adalah Al-Qur’an berjalan. Allah
langsung menurunkan Al-Qur’an kedalam hati Baginda Rasul yang mulia.
Tidak dengan maksud menyalahkan pihak-pihak yang
menggunakan mahar tertentu diluar kelaziman, namun merendahkan mahar sampai
hanya berupa segelas air putih kesannya seperti mempermainkan sakral nya sebuah
pernikahan. Benarkah, si pengantin laki-laki yang memberikan mahar segelas air
putih tidak memiliki sesuatu yang lain yang dapat dijadikan mahar? Atau jika
memang tidak memiliki yang lainnya, apakah sang pengantin tersebut juga tidak
mampu menghafal satu surat saja dalam Al-Qur’an seperti Al-Fatihah misalnya?
“sebaik-baik perempuan adalah yang
merendahkan maharnya, dan sebaik-baik laki-laki adalah yang yang meninggikan
maharnya.”
Wallahu ‘Allam.
Bottom of
Form
1 comment
http://habaportal.blogspot.co.id/2016/05/8-keunikan-gadis-aceh.html