Dari awal membaca sebuah surat terbuka di jejaring
sosial facebook yang telah di share oleh ratusan atau bahkan mungkin ribuan
orang hingga malam ini, entah mengapa saya merasa ada yang janggal ketika
sampai pada kalimat; “ Ibu Lulusan Jerman, Anda mungkin tidak tau karena
tidak pernah menjadi undangan saat yudisium yang sudah-sudah yang diadakan
fakultas. Sayalah MC, yang diberi kepercayaan menjadi pembaca nama peserta
yudisium, hingga beberapa angkatan berturut-turut. Begitulah apresiasi fakultas
terhadap kemampuan saya. Saya juga yang dipercaya melatih adik kita di Ilkom Rizky
Afianda dan Julian Sabri di jurusan IAN untuk menjadi the next
regenerasi MC yang akan tampil di yudisium kali ini. Tapi, kali ini, malah saya
sendiri tidak dibolehkan menjadi peserta yudisium. Ini sangat menyakitkan! Ibu,
mungkin ibu harus lebih banyak lagi belajar bagaimana cara menghargai dan
mengapresiasi kemampuan orang lain, jangan merasa diri paling hebat.” Nach,
sepertinya didalam kalimat ini saya mulai menemukan sebuah alasan kekecewaan
Nanda terhadap Sang Ibu Dosen lulusan Jermannya yang memberlakukan dia sama
dengan mahasiswa lainnya, tidak ada pengecualian atau pun tidak ada
peng-istimewaan terhadap “kemampuan” dia.
Kemudian di kalimat-kalimat selanjutnya, hal itu
semakin mempertegas kesimpulan awal yang saya dapatkan setelah membaca surat
terbuka tersebut sampai selesai. Sangat disayangkan, pengguna media sosial
mulai latah menyebarkan berita ini dengan membuat save- save-an untuk Nanda
tanpa mendengar dan atau membaca berita dari arah lainnya.
Tidak ada maksud membela atau menyalahkan pihak
manapun, tetapi alngkah lebih bijak jika kita menyikapi hal ini setelah
mengetahui persoalan secara akurat dari kedua belah pihak yang bersengketa.
Malam ini, akhirnya saya menemukan berita yang
mungkin sedikit mengimbangi pernyataan sepihak yang terlanjur beredar. Pernyataan
Si Ibu Dosen lulusan Jerman yang disiarkan Tribunnews Medan sedikit menjawab
kejanggalan yang saya rasakan. Yach, meskipun sampai sejauh ini kita belum juga
boleh menerima mentah-mentah apa yang disampaikan media. Tetapi setidaknya,
kita bisa melihat kasus ini secara lebih jernih.
Saat ini semua kita pasti tidak ingin dikatakan
tidak pintar bukan? Namun, bukankah untuk terlihat dan diakui pintar kita harus
membaca buku tidak hanya pada halaman pendahuluannya saja, tetapi bacalah
sampai ke halaman daftar pustakanya agar kita paham keseluruhan isinya. Inilah anologi
yang pantas bagi kita yang menyimpulkan sesuatu hanya setelah mengetahui warna
sampul bukunya atau lebih jauh sedikit hanya setelah membaca daftar isinya.
Selanjutnya, Dik Nanda mungkin lupa, hadih maja
Aceh menyebutkan: Ayah ngon Poma keu Lhee ngon Guree, Ureung nyan ban lhee beu
ta peumulia. Sebagai orang yang patut kita muliakan sangat tidak intelektual
(jika ingin diapresiasi “kemampuan” nya) menyebarkan ke media sosial jika kita
mempunyai permasalahan dengan orang-orang yang harus kita muliakan.
Begitu pula Ibu Dosen, saya ingin mengingatkan
sebuah pepatah yang telah kita tahu bersama bahwa apabila guru kencing berdiri
maka murid kencing berlari (maaf jika pepatahnya sedikit kurang sopan). Oleh karenanya,
ketika murid melakukan kesalahan maka kita lah sebagai guru yang harus terlebih
dahulu intropeksi.
5 comments