Perempuan selalu dijadikan objek penderita sejak
dahulu. Mengapa? Karena perempuan sendiri yang menginginkan demikian. Hegemoni laki-laki
atas perempuan demi budaya yang bernama patrilineal mengakar kuat tidak
terlepas dari peran perempuan yang menerimanya dengan tak berkutik sedikitpun,
malah sebagian besar membenarkannya.
Ketika ada perempuan-perempuan mulai memahami dan
mengerti akan hal ini angkat bicara serta ingin melepaskan diri dari hegemoni
ini maka mereka akan dianggap tokoh gender yang menyebarkan paham emansipasi
(kesetaraan kedudukan antara laki-laki dan perempuan) yang dianggap masyarakat
adalah paham sesat.
Lalu benarkah emansipasi ini paham sesat? Mari sejenak
kita kembali ke Al-Qur’an “Dan orang-orang beriman, laki-laki dan Perempuan,
sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka
menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah yang mungkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu
diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana.”(Qs.
At-Taubah: 71)
Ayat diatas menunjukkan bahwa laki-laki dan
perempuan mempunyai harkat dan martabat yang sama di hadapan Allah. Tidak ada
perbedaan diantara keduanya. Selanjutnya dalam sebuah hadits Rasulullah saw
bersabda: “An-nisa ‘imadul bilad idza shaluhat shaluhal bilad, wa idza
fasadat fasadal bilad.” Perempuan adalah tiang negara, apabila baik
perempuannya maka akan baik pula negaranya, apabila buruk perempuannya maka
akan buruk pula negaranya.
Pada dasarnya, perempuan dan laki-laki mempunyai
kedudukan yang setara dalam Islam dengan peran dan tanggung jawab masing-masing.
Dalam ayat yang lain Allah menegaskan “Ar-Rijalun Qawwamun ‘Alannissa” Laki-laki
itu pemimpin/Pengayom atas perempuan.
Nach, apakah atas nama pemimpin lalu mereka bebas “menjajah”
perempuan seenaknya? Coba kita lihat kembali makna pemimpin. Pemimpin itu
sejatinya adalah pelayan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Hal ini tergambar
jelas dalam sikap-sikap khulafaur rasyidin yang menjadi pemimpin atas umat
Islam. Sebagai pemimpin mereka melakukan apa saja untuk melayani rakyatnya. Sebut
saja Umar Ibn Khattab yang rela memanggul gandum dengan berjalan kaki
mengantarkannya ke rumah rakyatnya sebagai bentuk pelayanannya sebagai seorang
pemimpin.
Sementara itu, saat ini laki-laki menggunakan
dalil surat an-nisa tersebut untuk menunjukkan kehebatannya sebagai pemimpin
perempuan, namun disisi lain mereka minta dilayani, diayomi dan dimanjakan oleh
perempuan. Contoh terkecil dalam rumah tangga, terkadang suami dengan tega
membangunkan istri yang tertidur hanya untuk membuatkannya segelas kopi. Inikah
bentuk kepemimpinan?
Di dalam lingkup yang lebih luas, negara misalnya,
sebahagian suami yang perilakunya seperti itu berkoar-koar menuntut pemimpin
negeri atau negaranya melayani mereka sebagai rakyat dengan sebaik mungkin.
tentu hal ini tidak akan pernah terwujud. Jika dalam lingkup kepemimpinan yang
kecil saja sebagai pemimpin mereka minta dilayani, apalagi dalam lingkup negara
yang rakyatnya lebih banyak.
Dengan spirit persamaan harkat dan martabat inilah
muncul wanita-wanita hebat di awal kejayaan Islam. Kita mengenal Aisyah, istri
Nabi yang hafal ribuan hadis. Ada Nafisah, wanita keturunan Arab yang pandai
hukum tata negara. Kemudian Fathimah binti Aqra, yang selain terkenal
sebagai seorang ulama wanita juga adalah kaligrafer ternama. Selanjutnya,
Syaikhah Syuhda yang lebih dikenal dengan Fakhrun Nisa, atau
penghulunya wanita yang jago retorika. Lalu ada Zainab binti As-Syar’i, Munisah
binti Malik, dan Syamiyah binti Hafidz, tiga wanita cantik jelita, tapi pakar
dalam masalah agama, bahasa, dan aritmatika. Dan begitu banyak tokoh-tokoh
perempuan yang tak mungkin disebutkan satu persatu.
Kemudian, khusus untuk Aceh tentu kita sudah tak
asing dengan nama Cut Nyak Dhien, perempuan perkasa kelahiran Lampadang, Aceh
Besar ini namanya sangat ditakuti Portugis dan Belanda. Bahkan seorang
sejarawan Belanda menuliskan bahwa tidak ada perempuan dari bangsa manapun di
dunia ini yang melebihi keberanian perempuan bangsa Aceh. selain itu, Aceh juga
punya Keumalahayati, laksamana perempuan pertama di dunia yang membuat Ratu
Inggris gemetar. Sulthanah Safiatuddin, perempuan cerdas yang menguasai 7
bahasa dunia, serta sederet nama-nama harum lainnya.
Sebenarnya perdebatan tentang kedudukan perempuan
ini telah lama selesai sejak Islam datang untuk mengangkat harkat dan martabat
perempuan. Adakah makhluk lain yang diletakkan syurga dibawah telapak kakinya
oleh Allah selain perempuan? Pernahkah ada hadits Rasul kita yang Mulia yang
menyuruh menghormati ayah lebih dari Ibu?
Jadi, sejatinya hegemoni laki-laki atas perempuan
hari ini dapat terus berlangsung dan diwariskan secara turun temurun, tidak
terlepas dari kebodohan perempuan sendiri yang tidak paham akan kedudukan dan
perannya. Keberanian dan kecerdasan yang diwariskan leluhur hilang tak berbekas,
berganti dengan ketakutan tak punya suami jika tak menerima hegemoni.
Sadarilah wahai saudariku, Allah telah menetapkan
tempat tertinggi untuk perempuan. Bukan saatnya lagi sekarang menuntut
emansipasi tetapi sekarang waktunya berbenah diri dan menyadari bahwa sebagai
perempuan kita pantas dihormati, sebagai istri kita pantas di hargai dan
sebagai ibu kita mampu mengasihi. Suami itu relasi bukan diktator yang harus
ditakuti.
Post a Comment