Isu pemekaran sudah lama sekali berhembus dan kian
santer akhir-akhir ini. awalnya saya tidak terusik karena sudah menjadi prinsip
saya untuk tidak terlibat dalam dunia perpolitikan, namun bukan berarti saya
buta peta politik, tetapi saya hanya tidak ingin tulisan-tulisan saya terjebak
dalam dunia yang sulit sekali membedakan mana putih dan mana hitam itu.
Saya sama sekali tidak pernah berkeinginan mengisi
pena saya dengan tinta abu-abu. Terlalu riskan bermain di zona yang semua orang
pasti akan kecanduan bila terjun kedalamnya. Oleh karenanya, meski hidup di lingkungan
yang sarat dengan dunia politik, saya lebih memilih untuk tidak ikut terjun. Tetapi,
untuk wacana pemekaran ALA dan ABAS ini saya tergelitik ingin ikut
mengomentari.
Sejumlah pernyataan sikap maupun yang hanya
sebatas status facebook mengenai isu pemecahan Provinsi Aceh ini berseliweran
di timeline saya. Dari yang mendukung sampai yang sarat dengan permainan adu
untung. Sebahagian menuliskan, “jika kita saja meminta pisah dari Negara
Kesatuan, mengapa ketika ada orang lain yang juga ingin pisah dari kit, justru
kita larang dengan mengatas namakan kesatuan?”
Sekilas argumen diatas ada benarnya jika kita
merujuk pada perjuangan Aceh yang juga ingin pisah dari Negara Kesatuan. Tetapi
coba kita tilik sejarah panjang yang telah dilalui negeri ini. Sultan Ali
Mughayatshah berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di sepanjang daratan
Aceh dibawah bendera Kesulthanan Aceh Darussalam. Sebelum bersatu, di kawasan
ujung paling utara pulau sumatera ini terdapat beberapa kerajaan kecil seperti;
Lamuri, Aceh, Pedir, Daya, Linge, Pasai, Pereulak, dan kerajaan-kerajaan kecil
lainnya.
Perjuangan menyatukan seluruh kerajaan-kerajaan
kecil ini bukanlah perjuangan yang mudah. Namun, setelah bersatu kerajaan ini
menjadi kerajaan gagah yang disegani teman dan ditakuti lawan. Portugis harus
hengkang dari Malaka setelah Kesulthanan Aceh Dar el Salam terbentuk pada abad
ke-15.
Pada perkembangan selanjutnya, ketika tahta Aceh
Darussalam berada di tangan Sulthan Zainal Johansyah yang lebih akrab dikenal
dengan nama Iskandar Muda, beliau memperluas wilayah kekuasaan sampai ke
Pahang, Johor, Nias, Deli hingga semenanjung Pattani (Thailand sekarang).
Kekayaan alam Aceh yang luar biasa dan dengan
majunya kutaraja sebagai wilayah transit perdagangan dunia menjadikan negara-negara
barat berhasrat menguasai daerah ini. segala cara dicoba. Mulai dari melakukan
hubungan dagang hingga mencoba menjalin hubungan diplomatik.
Meski beberapa kali gagal menaklukkan Aceh yang
saat itu berpenduduk sekitar 8 juta jiwa, namun tidak pula menyurutkan langkah
Belanda dan Inggris yang bergabung dengan nama kolonial untuk menguasai daratan
Aceh. Segala celah coba dimasuki meski berulang kali harus berakhir dengan
jalan buntu.
Usaha yang sungguh-sungguh dari kolonial ini
akhirnya membuahkan hasil. Mereka akhirnya menyadari tidak mudah menghancurkan
Aceh yang sangat kental nilai-nilai keislamannya apabila seluruh Aceh
Darussalam masih bersatu. Cara satu-satunya menghancurkan Aceh adalah dengan
memisah-misahkannya. Maka, dilakukanlah penyerangan besar-besaran ke seluruh
wilayah Aceh pada tanggal 26 Maret 1873.
Setelah penyerangan ini meski Aceh tidak sepenuhnya
dapat ditaklukkan tetapi Belanda dan Inggris berhasil membaginya menjadi dua.
Daerah di Pesisir Sumatera berada dibawah kekuasaan Belanda dan yang satunya di
sepanjang semenanjung malaka berada di bawah penaklukan Inggris. Sejak saat
itu, berpisahlah Aceh yang menjadi wilayah Indonesia sekarang dengan sebagian
wilayahnya yang berada di bawah pemerintahan Malaysia saat ini.
Selain misi dagang dan penguasaan kekayaan, dalam
urusan gospel pun atau penyebaran keagamaan, Aceh sejak dahulu ditandai dengan
warna hitam pekat pada peta penyebaran salib dunia sebagai daerah yang sangat
sulit ditembus misi salib. Islam yang bersatu tidak akan mudah dihancurkan
begitu saja.
Dalam sebuah hadits Rasulullah menjelaskan “Aku (Allah SWT) tidak akan menjadikan
umatmu dikuasai oleh musuh dari luar mereka yang melucuti pelindung kepala
mereka, meskipun mereka diserang dari berbagai penjuru, kecuali jika sesama
umatmu saling menghancurkan dan saling melawan.”(HR. Muslim)
Mengingat seluruh rujukan yang pernah saya baca
terkait pemisahan-pemisahan khususnya Aceh, oleh karenanya keprihatinan saya
terhadap akan kembali pecahnya Aceh saya tuangkan dalam tulisan ini. sudah
semestinya kita bersatu padu menghadapi tantangan-tantangan zaman kedepan demi
generasi penerus Aceh yang lebih baik bukannya saling sikut mencari jatah
hingga memecah belah bila nafsu “Peu punoh kanot bu” tak berlimpah ruah.
Post a Comment