Gegap gempita
perayaan hari kemerdekaan bergema di seluruh Negeri ibu pertiwi hari ini.
kibaran Sang Merah Putih diiringi gaung Hymne Indonesia Raya mampu membuat
merinding siapapun yang meilihat dan merasakan syahdunya detik-detik
proklamasi. Hari Kemerdekaan memang selalu menjadi euforia penuh kegembiraan di
setiap negara mana pun yang merayakannya tak terkecuali Indonesia.
Sudah 70 kali
17 Agustus kita bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari Mianggas
sampai Pulau Rote larut dalam kemeriahan proklamasi. Kita, Negara Kesatuan
Republik Indonesia adalah bangsa pertama yang merdeka setelah era perang dunia
kedua. Bangga dengan kebhinekaan dan keragaman budaya kita itu sudah pasti dan
memang harus selalu ada dalam dada setiap anak negeri.
Dari ujung
Sumatera, hari ini, saya pun selaku warga negara Republik Indonesia mengucapkan
“Selamat Hari Kemerdekaan ke-70 untuk NKRI dan untuk kita semua bangsa
Indonesia”. Tanpa bermaksud mengurangi kebahagiaan kemerdekaan hari ini, saya
ingin sedikit bercerita dari tanah penuh konflik dan air mata ini.
Ketika di awal
kemerdekaan Indonesia, presiden pertama kita Ir. Soekarno datang ke kami
(rakyat Aceh) untuk mengajak kami bergabung dengan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Saat itu, Bung Karno meminta dengan deraian mata, sehingga hari ini
kami rakyat Aceh juga merupakan bagian dari NKRI.
Setelah bergabung,
para orang tua kami dahulu mengumpul sejumput demi sejumput beras yang kemudian
dijual untuk membelikan pesawat pertama Republik Indonesia yang diberi nama “Seulawah
Air”, hingga kini replikanya masih bisa kita saksikan di lapangan Blang Padang
Banda Aceh. Ini pesawat pertama yang dimiliki Indonesia yang menjadi cikal
bakal penerbangan komersial Garuda Airlines saat ini. Tidak ada maksud dengan
menginggkari keikhlasan para pendahulu kami, tapi hari ini penerbangan Garuda
termahal adalah dari Aceh dan atau pun menuju Aceh
Kemudian, saat
Megawati memimpin negeri ini, kami menghadiahkannya gelar Cut Nyak. Gelar kebangsawanan
tertinggi untuk perempuan di daerah kami. “Cut Nyak tidak akan membiarkan satu
tetes air mata rakyat Aceh pun kembali mengalir”, janjinya ketika datang ke Aceh
saat itu. Janji nya ditepati, bagaimana bisa air mata kami mengalir jika detak
jatung kami tidak lagi memompa darah? Sebulan setelah bertahta Cut Nyak
memberlakukan Daerah Darurat Militer untuk Aceh. Kami tidak lagi mengalirkan
air mata, karena darah kami lah yang mengalir.
“Aceh adalah
kampung halaman saya”, tulisan ini bertebaran ketika kampanye presiden kita
yang mulai bapak Ir. Joko Widodo kala itu. Kami sangat senang, beliau menepati
kata-katanya dengan “mudik” dan shalat Ied di Mesjid Raya Baiturrahman ketika
Idul Fitri Kemarin, meski karena hal itu, untuk beribadah kesana kami harus
melewati metak detector.
Pembangunan Indonesia
di era Jokowi sekarang sungguh mengagumkan, mulai dari tol laut, kereta api
cepat sampai monorel, belum lagi gedung pencakar langit yang memang sudah ada
dari dahulu. Tetapi, anak-anak kami, anak dari rakyat yang telah menyumbangkan
emas di puncak Monas yang menjadi icon dan kebanggaan bangsa Indonesia harus
menyeberang jembatan yang menantang maut hanya untuk mensukseskan program
pemerintah wajib belajar 9 tahun.
Banda Aceh,
17 Agustus 2015
Happy Independence
Day Indonesia
Post a Comment