Untuk mu yang pernah singgah di hati dan hidupku...
Malam ini ketika kebuntuan ide kurasakan,
tiba-tiba aku teringat dirimu. Izinkan aku menyapamu setelah 7 tahun perpisahan
kita. Apa kabarmu? Kuharap kau baik-baik saja. Bolehkah aku juga bertanya kabar
kedua orang tua mu? Bagaimana keadaan mereka? Terkadang aku masih rindu dengan
masakan ibumu yang kau antarkan untuk makan sahurku.
Sudah lama kita tak pernah berjumpa, padahal kita
masih tinggal satu kota bukan? Apa kesibukanmu sekarang ini? Sudah selesaikah
pendidikan dokter spesialis mu itu? Jangan tanya dari mana aku tahu tentang
itu, karena sejujurnya sejak kepergianmu sore itu, aku sedikitpun tak pernah
melupakanmu.
Jangan bangga dulu, karena tak pernah melupakan
bukan berarti aku masih mencinta. Bagaimana mungkin aku bisa lupa setelah 3
tahun kita bersama? Ku rasa hanya amnesia yang mampu membuatku melupakan segala
memori tentang mu. Tetapi, nyatanya aku masih normal-normal saja dan kenangan
itu masih melekat kuat dalam ruang hati.
Bagaimana dengan mu? Masihkah juga kenangan
tentang kita tersimpan dalam sudut hatimu? Malam ini, aku seperti menemukan
kotak pandora yang telah lama berdebu. Perlahan ku sapu debunya dengan telapak
tangan dan mencoba mencongkel gemboknya yang telah berkarat. Kau tahu, di
dalamnya berisi tumpukan file jejak langkah yang pernah kita torehkan berdua.
Di tumpukan paling atas adalah kenangan ketika
kita duduk berdua di atas sebongkah batu, memandang ombak yang riang berkejaran
di bawah cahaya jingga yang dipersembahkan matahari pada langit senja. Lalu,
aku tertawa lepas melihat sekelompok anak-anak yang berlomba melompat dari
bebatuan tinggi ke dalam hamparan air laut biru di bawah sana, sementara kau
hanya tersenyum sambil menatapku dan diam seribu bahasa.
Sebelum beranjak untuk pulang, kau menahan
tanganku. “aku ingin kita masing-masing saja” ucapmu kala itu. Kau tahu, aku
seperti mendengar dentuman petir tanpa mendung yang menjadi pertanda.
Ada apa? Apa salahku? Hanya dua pertanyaan itu
yang mampu ku ucapkan. Setahuku, selama itu, kita bahkan hampir tak pernah
bertengkar. Saat itu, aku tak ingin percaya pada pendengaranku sendiri saat kau
katakan tak lagi cinta. Ya..,, hubungan yang telah kita jaga bersama hanya
selesai karena tak lagi cinta.
Bohong jika ku katakan aku baik-baik saja. Tetapi,
aku berusaha semampuku untuk tak memperlihatkan air mata. Satu hal yang telah
kusimpan lama dan ingin ku tanyakan padamu. “Apa yang kau rasakan ketika kau
ucapkan kata-kata itu?”
Waktu berlalu, perlahan tapi pasti aku telah
memaafkanmu dan juga memaafkan diriku sendiri. Jika di awal-awal kepergianmu,
aku sibuk menyalahkan diriku sendiri, tetapi kemudian, seiring berjalannya
waktu aku sadar bahwa kau memang bukan yang terbaik untukku.
Saat itu, aku sempat menulis puisi untukmu, dan
kini ku ingin kau membcanya.
Perlahan,
airmata ini mulai mengering...
Ketika ku
sadari, ternyata bersama mu mengeringkan hati dari pesona Ilahi
Bagaimana
mungkin aku meratap atas kepergianmu, namun tersenyum bahagia bersamamu saat
hidayah-Nya mulai meninggalkanku.
Senja itu,
sejatinya adalah cara sang pemilik cinta yang ingin cintaku utuh hanya
untuk-Nya.
Ku mohon
padamu, kembalikan hatiku hanya untuk Allah saja...
Banda Aceh,
feb 2007
Kini...,, ku
ingin kau tahu, aku sangat bahagia. Allah telah menganugerahkan seseorang yang luar
biasa untukku. Melalui tulisan ini pula, aku ingin mengucapkan terimakasih karena telah
meninggalkanku. Karenanya aku belajar bahwa hidup tak selalu diisi oleh tawa,
ternyata ada air mata yang setelahnya menghadirkan bahagia tiada tara.
Oh ya, satu
lagi pertanyaanku, masihkah kau merokok? Jika dulu, cinta kita tak mampu
membuatmu berhenti dari barang laknat tersebut, semoga kini kau telah
meninggalkannya karena profesimu mengajarkanmu betapa berbahayanya media hisap
itu. Sampaikan salamku untuk ayah, ibu, dan kakakmu.
2 comments